Langsung ke konten utama

Kenapa masalah PBJ kita begitu ruwetnya?

Soal pengadaan barang/jasa (PBJ) masih menjadi isu yang terus muncul. Mungkin karena dorongan dari pemerintah saat ini di mana kita dipaksa untuk terus berkinerja, sementara itu sistem PBJ masih tidak memungkinkan hal itu. Suatu hal yang sangat dilematis. Sistem PBJ di negara kita masih menjadi hambatan utama untuk berkinerja. Dari ngobrol ngalor-ngidul, ternyata soal ini pun rupanya sudah pernah dibahas di literatur. Kondisi saat ini tidak bisa dilepaskan dari dua pertarungan pendekatan reform berbasis NPM.

Dalam reform NPM itu ada dua pendekatan yang populer, yaitu "liberation management" versus "market-driven management". Pendekatan pertama mengasumsikan orang-orang di sektor publik itu adalah orang-orang baik yang sialnya sedang berada pada sistem yang buruk.

"The liberation management school characterizes professsional public managers as good managers caught in bad systems."

Mereka ini biasanya dibombardir oleh berbagai peraturan yang duplikasi, saling tumpang tindih, dan sering malah sebenarnya tidak perlu. Pandangan ini mengangggap mestinya mereka para profesional di sektor publik itu diberikan kesempatan untuk berakuntabel atas apa yang dicapainya. Bukan mereka yang salah, tetapi sistem yang buruklah yang mengakibatkan mereka tidak bisa bekerja. Karenanya, pengendalian melalui hasil menjadi ciri utama yang didorong pendekatan ini, bukan pada prosedur atau input.

"Liberated managers would be held accountable to the democratic process by what they achieve in their respective policy areas. Hence, the necessary control is exercised through outcome measures rather than through input constraints."

Sialnya, kebanyakan negara berkembang itu masih didominasi, didokrin, dan akhirnya percaya dengan market-driven management. Padahal, landasan berpikir pendekatan ini berbeda dengan konteks negara berkembang. Berbeda dengan liberation management yang berbasis trust, asumsi pendekatan ini para profesional di sektor publik itu adalah orang-orang yang culas.

"[P}ublic-sector managers are motivated by narrow self-interest and will take advantage of opportunities to 'cheat' as expressed in public choice theory and principal-agent theory."

Karenanya, untuk mengendalikan mereka, kompetisi pasar harus terus didorong. Jangan pernah percaya dengan mereka, itu inti nasihat pendekatan ini.

"Competition in and of itself serves as a control mechanism in the private sector and dovetails with the narrow self-interest that may drive managers."

Itulah sebabnya, lelang selalu menjadi hal yang diagungkan di sistem PBJ kita. Penunjukan langsung selalu menjadi barang haram. Kepercayaan bahwa lelang menyelesaikan masalah sektor publik pun sudah merambah pada penentuan pejabat publik, walaupun mayoritas rakyat Indonesia menganggap jabatan adalah amanah. Suatu yang paradoksial.

Sialnya lagi, kita di universitas pun telah didoktrin sejak lama untuk percaya dengan market-driven management, suatu ajaran penting kapitalisme. Kelas-kelas selama ini dirancang untuk percaya dengan pendekatan market ini. Dan akhirnya, secara tidak sadar, kita pun sekarang terperangkap di dalamnya.

Program-program reform di negara berkembang pun selalu percaya dengan anjuran ini. Apalagi ketika yang berbicara adalah lembaga donor. Karenanya, desain sistem PBJ kita pun masih berbasis ketidakpercayaan pada para profesional di sektor publik.

Ini mestinya sama-sama kita lawan. Situasi praktik yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari mindset konseptual kita sendiri. Sepanjang kita masih percaya dengan dokrin market-driven management yang buta, sepanjang itulah kita masih terus akan berbicara blundernya sistem PBJ kita, kita terperangkap di dalamnya, dan memakan rekan-rekan kita sendiri sebagai korbannya.

Saatnya kita bergerak untuk mengembalikan mindset bahwa masih banyak profesional di sektor publik adalah orang-orang yang bisa dipercaya dan kita harus memenangkan pertarungan pendekatan liberation management atas market-driven management.

Bacaan utama:

Gianakis, G. A. (2002). The promise of public sector performance measurement: Anodyne or placebo? Public Administration Quarterly, 26(1/2), 35-64.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke