Langsung ke konten utama

Tentang e-KTP yang Membuat Masalah dan Konflik Horisontal

Hari ini kantor pemerintahan sudah mulai buka seperti biasanya, setelah Idulfitri. Memang, masih banyak juga pegawai yang memperpanjang masa cutinya.

Pada awal masuk kerja setelah libur lebaran ini biasanya tidak banyak hal yang bisa dikerjakan. Karena itu, saya lebih banyak melihat-lihat perkembangan website di tempat lain. Kebetulan, dari twitter saya lihat ada tweet dari @lapor_ukp4 tentang laporan seorang warga yang e-KTP-nya diubah dengan KTP biasa karena pindah lokasi. Judulnya: “Sudah ada E-KTP, Masih Harus Buat KTP Reguler Saat Pindah Domisili”. Si pelapor menulis:

“Kritik buat Kementerian Dalam Negeri, kalau ada warga pindah alamat, E-KTP tidak perlu diambil. Kan sekarang ini sudah ada E-KTP. E-KTP jadi mubazir.

Kejadiannya waktu pindah alamat dari Kecamatan Bogor Utara ke Kecamatan Bogor Barat, Kartu Keluarga asli dan E-KTP asli kami diambil oleh petugas Kecamatan Bogor Utara. Sehingga, kami sekeluarga kembali bikin KTP biasa lagi.

Begitu pula waktu anak saya membetulkan nama di Disdukcapil Kota Bogor, E-KTP kembali diambil dan anak saya dibuatkan KTP biasa.

Hal ini dialami bukan kami saja, banyak warga Bogor yang pindah alamat beda kecamatan dan pindah kabupaten / kota pasti E-KTP diambil. Kami tidak keberatan E-KTP diambil asal dibuatkan lagi E-KTP Baru.”

Memang, sungguh merepotkan setelah penerapan e-KTP ini. Walaupun demikian, saya rasa kita tidak bisa sekedar menyalahkan pihak kecamatan. Sebab, kartu e-KTP itu dibuat terpusat di Ditjen Dukcapil. Sementara itu, ketika seorang pendukung berpindah alamat, e-KTP-nya harus diganti. Dengan demikian, mau tidak mau, petugas kecamatan harus mengumpulkan terlebih dahulu kartu e-KTP tersebut untuk selanjutnya dibuatkan kartu e-KTP baru ke Ditjen Dukcapil. Ini memakan waktu yang lama tentunya.

Inisiatif kecamatan untuk membuat KTP biasa itu sebenarnya sudah sangat bagus dan perlu diapresiasi. Bisa dibayangkan, akan seperti apa Anda kalau penduduk yang mengeluh tadi tidak diberikan KTP biasa. Lagi pula, KTP biasa itu sebenarnya tetap menggunakan NIK yang sama dengan yang ada di e-KTP. Jadi, tidak masalah sebenarnya secara substansi. Nanti ketika kartu e-KTP baru yang sudah diperbaiki alamatnya diperoleh dari Ditjen Dukcapil, si penduduk tadi bisa menukar kembali KTP biasa tersebut dengan e-KTP baru.

Yang menarik juga, pada konflik horisontal di masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari salah satu keluhan di http://lapor.ukp.go.id/. Jika tidak dibenahi, konflik ini bisa berkembang. Berikut keluhan seorang penduduk dengan judul: “E-KTP Ditahan oleh Ketua RW karena Dendam Pribadi”.

“Program E-KTP (Electronic Kartu Tanda Penduduk) diluncurkan Kementerian Dalam Negeri yang saya ketahui adalah GRATIS alias TIDAK DIPUNGUT BIAYA. Tetapi mengapa pada saat pelaksanaannya, saat pengambilan data dan difoto pada tanggal 24 September 2012 di Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung di loket pendaftaran saat akan diambil data kami diminta untuk membayar biaya administrasi tanpa bukti sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) per orang (petugas yang menarik uang terus terang saya tidak tahu namanya, karena orang yang memungut uang tersebut tidak memakai pakaian PEMDA. Orang tersebut memakai baju biasa, dan jabatannya juga saya tidak tahu. Tapi yang jelas dia duduk di bagian pendaftaran sebelum diambil datanya. posisi diluar ruangan).

Yang anehnya lagi, begitu istri saya akan mengambil E-KTP yang sudah jadi di rumah Ketua RW 15 Komplek Taman Bunga Sukamukti 1 (Kelurahan / Desa Sukamukti, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Rumah ini juga merangkap sebagai kantor RW 15) bernama Nurcholis, pada hari Sabtu, 16 Februari 2013, istri saya juga diminta untuk membayar sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per KTP. Istri saya sempat tanya kenapa harus bayar, bukannya E-KTP itu gratis. Tapi jawab Ketua RW 15, "ada kebijakan dari atas!". Karena harus membayar, istri saya tidak jadi mengambil E-KTP tersebut. Setelah itu, istri saya tanya ke tetangga rumah kami yang telah mengambil E-KTP di rumah RW 15, bahwa benar disuruh membayar sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per KTP. Karena harus membayar, istri saya tidak jadi mengambilny

Selanjutnya saya mengirim surat pembaca dan dimuat di koran harian umum Pikiran Rakyat pada tanggal 5 Maret 2013 dengan judul “Mohon Perhatian PemKab Bandung“. Di surat tersebut saya tanyakan ke pihak berwenang kenapa mengambil E-KTP yang sudah jadi harus bayar, bukankah itu program GRATIS ? (Saya lampirkan juga disini bukti asli tulisan dan bentuk tulisan yang dimuat). Setelah surat pembaca saya dimuat, orang kecamatan mungkin mendapat teguran dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bandung. Cerita yang berkembang yang saya peroleh, ada orang–orang pemerintahan yang yang datang ke rumah Ketua RW 15, tapi saya tidak tahu Ketua RW 15 tersebut di tegur atau bagaimana.

Tapi dengan datangnya orang dari pemerintahan ke rumah Ketua RW 15, tidak ada efeknya sama sekali pada RW 15 dan istrinya Sri hastuti. Buktinya, uang yang sudah dipungut oleh dia atau istrinya tidak kembali kepada warga komplek yang telah mengambil E-KTP.

Pada hari selasa, tanggal 16 April 2013 jam 8 pagi, saya datang sendiri ke rumah pengurus RW 15 Komplek Taman Bunga Sukamukti 1 untuk ambil e-ktp atas nama saya, Supratman dan istri saya, Purwaningsih. Saya sendiri ke rumah pengurus RW 15 datang dengan baik – baik (ada bukti rekaman). waktu saya tanya E-KTP saya dimana, Ketua RW 15 berkata "E-KTP kamu tidak tahu terserah kamu mau carinya dimana dan kemana terserah". Padahal Sabtu tanggal 16 Februari 2013 istri saya sudah lihat dan pegang E-KTP kami ada di istri Ketua RW 15 Sri Hastuti. Ketua RW 15 masih memegang prinsip bisa dipersulit kenapa harus dipermudah. Malahan Ketua RW 15 mau menimpuk atau memukul saya dengan cowet (tempat ulekan bumbu). Mungkin kalau tidak dilerai oleh orang sekitar, sudah terjadi kekerasan. Mungkin pengurus RW 15 ini kesal saya menulis surat pembaca di koran harian umum Pikiran Rakyat.

Rekaman kejadian di rumah Ketua RW 15 ini ada dalam bentuk suara, direkam pakai HP punya anak saya. (Bukti rekaman terlampir. Dalam rekaman tersebut selain saya menanyakan E-KTP saya dan istri, saya juga sempat menyinggung RW 15 mengenai beras raskin dan dana gempa, karena penyaluran beras raskin di wilayah kami dikelola dia dan istrinya juga dengan harga Rp 3.000,- per liter dengan jatah perumah 3 liter. Sedangkan dana gempa yang saya dengar dari warga dana gempa diterima tidak sesuai dengan yang diberitakan media).

Dari rumah RW 15, selanjutnya saya dan istri ke Kantor Desa Sukamukti. Kata orang di Kantor Desa, mungkin KTP saya di Kantor Kecamatan. Selanjutnya saya dan istri ke Kantor Kecamatan menanyakan E-KTP saya. Di Kantor Kecamatan saya diberi tahu bahwa E-KTP yang sudah dicetak sudah diserahkan ke Desa. Dan saya serta istri pun balik lagi ke Kantor Desa. Di Kantor Desa kami berbicara panjang lebar dengan orang yang mengurus surat menyurat / Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (saya tidak yakin namanya. Kalau tidak salah Pak Opan Namun petugas ini adalah adik dari suami Kepala Desa Sukamukti yang merupakan istri dari mantan Kepada Desa Khobir yang menjabat 2 periode). Saya dan istri diterima dengan baik. Di akhir pembicaraan, dia merekomendasikan bila ketemu E-KTP atas nama saya dan istri akan diantar ke rumah saya.

Karena sudah cukup lama menunggu selama 2 bulan tidak ada juga berita mengenai keberadaan E-KTP saya dan istri, akhirnya saya mengirim surat pembaca kedua dan dimuat pada tanggal 25 Juni 2013 oleh Koran Pikiran Rakyat dengan judul “Mohon Tanggapan Dispendukcapil Kabupaten Bandung“. Sampai hari ini saya menulis laporan ini tanggal 11 Juli 2013, tidak jelas keberadaan E-KTP saya dan istri dan tidak ada respon sama sekali dari pihak pemerintahan Kabupaten Bandung.

Kalau mengharapkan dari pemerintahan desa ya saya tidak bisa mengharapkan. Karena dari cerita yang berkembang, antara RW 15 dan orang pemerintahan desa (Kantor Desa) ada hubungan simbiosis mutualisme (contoh pernah pada satu kesempatan pertemuan di Masjid Almuhajirin, saya menanyakan masa bakti RW 15 yang tadinya cuma 3 tahun, dan Sekretaris RW 15 juga sudah mengakui sudah habis masa jabatan, tiba-tiba ada di papan pengumuman masjid masa jabatan bertambah dengan otomatis tanpa pemilihan secara demokrasi).

Makanya saya pribadi ingin mendapat respon yang cepat dari tim dari Pemerintah Pusat, karena dari pihak Pemerintahan Kabupaten Bandung dan pemerintahan Provinsi Jawa Barat juga tidak ada respon. Padahal Koran Pikiran Rakyat pasti di baca oleh orang–orang pemerintahan di Jawa Barat. Terima kasih atas kerjasamanya

5. pada tanggal 16 april 2013, karena saya seorang PNS di intansi pendidikan pemerintah, saya minta izin datang terlambat ke atasan saya, dengan alasan saya mau mengurus E-KTP. Sekitar jam 8.00 WIB saya sendiri meluncur ke rumah Ketua RW 15 dengan menggunakan sepeda motor. Sekitar 30 meter dari rumah ketua RW 15, saya bertemu atau berpapasan dengan istri Ketua RW 15.

Saya berhenti sebentar dan berbicara dengan beliau akan mengambil E-KTP. Dengan raut muka ketus dan masam ibu RW 15 tersebut menjawab "sana di rumah tanya sama bapak". Karena tidak berhasil menerima E-KTP atas nama saya, saya jawab ya sudah saya akan ke Kantor Kepala Desa (ada di rekaman). Tidak berapa lama, istri Ketua RW 15 yang bernama sri Hastuti masuk sambil menangis dan berkata ke saya bahwa Ketua RW 15 sedak naik gulanya. Sambil menangis, karena saya akan pulang dan terus ke Kantor Desa dan ke Kecamatan, Ketua RW 15 emosi. Beliau ke dapur mengambil cowet (ulekan bumbu), dia mau memukul atau menimpuk saya pakai cowet tersebut. Tapi istrinya dan tetangga yang melihat Ketua RW 15 tersebut yang sudah mau memukul saya. Akhirnya saya keluar dan pergi dari rumah itu karena sama tetangga yang lain saya disuruh pergi.

Saya percaya pasti antara orang desa dan RW 15 ada kerjasama untuk menahan E-KTP kami, untuk menekan saya biar kapok dan agar saya tidak membuka kasus beras raskin dan dana gempa atau dana - dana lainnya. Itu baru praduga saya.”

Salut sangat salut dengan dengan perjuangan pelapor anonim tersebut. Jika banyak orang seperti mereka di Indonesia ini, pengawasan terhadap pengelola pemerintahan, dari mulai Ketua RT, RW, sampai jenjang tertinggi akan semakin kuat. Ia tidak boleh patah arang untuk terus berjuang.

Namun, sementara waktu, tentu tidak masalah jika ia menggunakan KTP biasa Anda. Selama untuk persyaratan -- seperti sekolah, bank, dan seterusnya -- tidak meminta harus dengan e-KTP, maka ia tetap bisa menggunakan KTP biasa yang Anda pegang saat ini.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke