Langsung ke konten utama

Online System Pajak Daerah

Ternyata, pemerintahan Jokowi dan Ahok telah membuat gebrakan besar pada proses otomasi pengumpulan pajak daerah. Dengan Peraturan Gubernur Nomor 224/2012, Jokowi telah mewajibkan online system empat jenis pajak, yaitu pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak parkir. Ini bukan sembarang online system, seperti penyetoran pajak melalui internet banking yang sudah biasa dilakukan, tetapi lebih jauh dari itu.

Dengan Peraturan Gubernur tersebut, Pemerintah DKI telah “memaksa” seluruh wajib pajak pada keempat jenis pajak tersebut untuk meminimalkan transaksi tunai dengan Pemda DKI. Hebatnya, setiap omzet yang diterima oleh wajib pajak harus tercatat dalam sistem online, yaitu cash management system (CMS) BRI. Uang sejumlah omzet per harinya yang diterima wajib pajak juga harus langsung disetor ke bank esok harinya. Dari nilai omzet inilah, kemudian kewajiban perpajakan masing-masing wajib pajak akan dipotong secara otomatis dan disetorkan ke rekening Kas Daerah. Fantastis bukan?

Yang hebat lagi, pada sistem online ini, Pemerintah DKI hanya memberikan 2 alternatif, yaitu fully online atau semi online. Pada sistem fully online, setiap transaksi yang ada di wajib pajak itu harus tercatat otomatis ke Data Center BRI, selain juga tercatat pada sistem yang ada di wajib pajak. Pada sistem semi online -- yang di Peraturan Gubernur disebut dengan istilah sistem manual -- setiap wajib pajak harus menyetorkan sejumlah omzet yang diterimanya setiap hari ke BRI. Setelah itu, tugas sistem CMS BRI yang memperhitungkan berapa pajak yang harus ditransfer ke Pemda DKI. Wajib pajak juga tidak perlu repot lagi membuat SPTPD dan SSPD secara manual. Keduanya akan ditangani langsung oleh CMS BRI dengan e-SPTPD dan e-SSPD. Sangat canggih, bukan?

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah DKI tersebut bisa dibilang gebrakan besar dan selangkah lebih maju bila dibandingkan dengan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Sebelumnya, adalah masih dalam bentuk wacana untuk melarang adanya transaksi tunai di atas jumlah tertentu pada pemerintah pusat. Tujuannya pun agar banyak pihak tidak ada peluang lagi untuk melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Sayangnya, wacana tersebut tidak pernah berkembang lagi. Ntah apa penyebabnya. Mungkin karena memperhitungkan tantangan yang nantinya akan sangat besar.

Mungkinkah Diimplementasikan?

Upaya Pemda DKI tersebut tentu saja akan mendapat tantangan besar. Misalnya, memaksa wajib pajak untuk menyetor uang yang diterimanya sejumlah omzetnya setiap hari ke bank. Apakah hal itu mungkin dilakukan? Bukankah dalam praktiknya para wajib pajak itu, sebagai pengusaha, masih terbiasa mengeluarkan pembiayaan rutinnya, seperti gaji karyawan, dari uang kas omzet penjualan hari itu? Tidak semua pengusaha yang mentransfer gaji karyawannya melalui bank.

Kedua, mestinya aturan yang sifatnya memaksa ditetapkan dengan Undang-Undang. Paling tidak dalam bentuk Peraturan Daerah. Peraturan Gubernur tentu tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memaksa wajib pajak menyetorkan uang sejumlah omzetnya ke bank setiap hari. Apalagi, banknya pun hanya bank tertentu, yaitu BRI. Wajib pajak bisa saja menghindar atau mengeles bahwa mereka tidak punya rekening di BRI. Memaksa seorang wajib pajak harus mempunyai rekening di BRI pun bisa dianggap sebagai tindakan pemaksaan, atau malah melanggar HAM. Karena itu, hal-hal seperti ini mestinya diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah.

Ketiga, Pemda DKI telah memberikan insentif yang menarik agar wajib pajak mau menerapkan sistem online ini, yaitu (a) dibebaskan dari kewajiban perforasi/legalisasi bon penjualan (bill) dan karcis tanda masuk; (b) dibebaskan dari kewajiban menyampaikan laporan bulanan, rekapitulasi bon penjualan dan karcis tanda masuk, serta penyampaian SSPD dan SPTPD manual; (c) memperoleh fasilitas CMS; dan (d) kemudahan lain sesuai dengan kebijakan bank, seperti kredit pembiayaan. Sayangnya, insentif ini rasanya masih kurang menarik. Insentif akan adanya pengurangan pajak atau yang sifatnya pemberdayaan usaha akan lebih menarik pengusaha tentunya.

Walaupun demikian, sudah ada ancaman bagi wajib pajak yang tidak mau mengikuti sistem online. Hal ini mungkin dapat mendorong wajib pajak untuk mau menjalankan sistem online tersebut. Ancaman terberat adalah wajib pajak yang tidak menerapkan sistem online akan dilakukan pemeriksaan setiap bulan dan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan. Jika diterapkan, tentu akan meningkatkan jumlah wajib pajak yang bersedia menerapkan sistem online. Namun, hal ini bisa juga malah tidak demikian, yaitu jika ternyata proses pemeriksaan tersebut malah disalahgunakan dengan kongkalikong antara wajib pajak dan pemeriksa pajak. Bukannya malah akan banyak wajib pajak yang mau menerapkan sistem online, tetapi malah sedikit, seperti ditengarai oleh Ahok yang diungkapkannya di media massa.

Keempat, pada sistem fully online, Pemda DKI akan menempatkan alat atau sistem perekam data transaksi. Alat atau sistem ini sangat rentan dari gangguan. Gangguan ini bisa karena faktor sengaja atau tidak sengaja. Gangguan karena faktor sengaja bisa dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak, atau malah petugas bank. Sayangnya, Peraturan Gubernur yang ada baru mengatur sanksi jika gangguan disebabkan secara sengaja oleh wajib pajak. Sanksinya pun baru terbatas berupa kewajiban kepada petugas pajak untuk melakukan tindakan administrasi apabila wajib pajak merusak alat atau sistem perekaman data. Belum diatur jika gangguan tersebut malah disebabkan oleh prilaku aparat pajak atau petugas bank. Demikian juga, tidak ada sanksi pidana jika ada unsur kesengajaan ditimbulkan oleh ketiga pihak tersebut. Selain itu, jika gangguan disebabkan oleh faktor yang tidak disengaja, belum diatur bagaimana penanganannya. Padahal, pada sistem online, kecepatan penanganan gangguan adalah sangat penting.

Kelima, walaupun berulang-ulang disebutkan bahwa e-SSPD dan e-SPTPD akan dijalankan langsung dari sistem CMS, pada Peraturan Gubernur ada pernyataan aneh, yaitu e-SSPD dan e-SPTPD tersebut mesti ditandatangani oleh wajib pajak. Kalau sudah online, dan pengiriman e-SPPD dan e-SPTPD itu dikuasakan ke sistem BRI melalui CMS, mestinya tidak perlu lagi adanya pengaturan bahwa wajib pajak harus menandatangani e-SSPD dan e-SPTPD.

Namun, dengan berbagai catatan tersebut, upaya Pemda DKI ini perlu didukung oleh semua pihak, dengan perbaikan di sana sini ke depannya.***

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke