Langsung ke konten utama

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.
 

Menafsirkan Kerugian Negara

Rudy M. Harahap
Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah
                                     
Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?"

Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tunggakan bunga." Beres.

Ternyata, memang tidak sulit memahami cara klasik berbuat curang dalam bisnis perbankan. Bahkan, mestinya seorang bankir yang ingin mengakali keuangan banknya pun tak perlu jauh-jauh belajar di luar negeri. Cukup  di sini. Sebab, akal-akalan perbankan yang canggih pun sudah diterapkan dan dapat dipelajari di negeri ini.

Misalnya, kasus Texmaco. Akal-akalan klasik ini malah dianggap "lazim" dan bukan dianggap sebagai kecurangan berbisnis. Karena itu, wajar saja jika mantan menteri sekaliber Laksamana Sukardi kecewa dengan penghentian penyidikan kasus ini. Dia menyesalkan, bagaimana mungkin utang Texmaco yang triliunan itu dikatakan belum jatuh tempo, "Bagaimana bisa jatuh tempo karena terus diundur-undurin," katanya.

Saya sendiri menduga ada empat alasan utama dihentikannya penyidikan kasus Texmaco. Pertama, aparat kejaksaan salah dalam membaca laporan audit tenaga ahli dari BPKP. Alasan pertama ini telah diulas Soejatna Soenoesoebrata (KONTAN, 29 Mei 2000). Diungkapkannya, pegawai BPKP yang diperbantukan ke Kejaksaan Agung itu dalam laporannya tidak tegas-tegas menyatakan telah tidak ditemukan kerugian negara dalam Kasus Texmaco. Mereka hanya menyatakan belum terjadi kerugian negara. Bahkan, dalam laporannya para auditor BPKP itu menambahkan suatu catatan, yaitu jika aktiva yang dijaminkan oleh Texmaco betul-betul dijual (dieksekusi) dan realisasi harga jualnya jauh di bawah utang Texmaco di bank pemerintah, maka selisih antara harga jual dengan utang Texmaco itu merupakan kerugian negara.

Mestinya, dari laporan para akuntan BPKP itu kejaksaan bisa menyimpulkan bahwa Kasus Texmaco dapat merugikan negara. Dengan demikian, salah satu unsur korupsi, yang sulit pembuktiannya, menurut Pasal 2 dan 3 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana  Korupsi (TPK) telah terpenuhi. Dalam kedua pasal tersebut dinyatakan bahwa TPK tidak terbatas pada yang merugikan negara, tetapi juga yang dapat merugikan negara. Artinya, TPK didefinisikan sebagai delik formal, yaitu adanya TPK cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan. Jadi, tidak mesti diikuti timbulnya akibat kerugian negara atau perekonomian negara.

Kedua, kemampuan dan kredibilitas SDM aparat kejaksaan tidak dapat diandalkan. Pernyataan Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ramelan bahwa dengan dialihkannya kredit macet BNI ke BPPN maka tidak terdapat kerugian negara jelas-jelas telah bertentangan dengan UU TPK. Sebab, Pasal 4 UU tersebut secara tegas menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku TPK. Karena itu, penulis menduga ada alasan kedua dari di-SP3-kannya kasus ini, yaitu kemampuan dan kredibilitas SDM aparat kejaksaan masih tak dapat diandalkan. Jadi, walaupun Jaksa Agung Marzuki Darusman telah melakukan reorganisasi, restrukturisasi, dan mutasi di kejaksaan, dalam kenyataannya dia tetap merekrut muka-muka lama. Misalnya, Direktur Penyidikan yang menandatangani SP3 Kasus Texmaco. Pejabat ini adalah mantan Kasubdit TPK juga. Karena itu, untuk meningkatkan kinerja kejaksaan, perubahan yang dilakukan Darusman tidak banyak berarti.

Ketiga, pelaksanaan pemeriksaan tenaga ahli BPKP itu telah dibatasi, yaitu tidak diperkenankannya pemeriksaan lapangan (field audit). Saya menduga, pemeriksaan tenaga ahli dari BPKP itu telah dibatasi. Hal ini tampak dari tabel ikhtisar laporan hasil pemeriksaan yang disajikan KONTAN. Dari tabel itu jelas terlihat bahwa dasar auditor BPKP untuk menyatakan jaminan yang diberikan Texmaco masih dapat menutupi utang Texmaco adalah laporan Konsultan Penilai. Namun, jika diperhatikan lebih teliti, laporan konsultan tersebut telah diterbitkan jauh sebelum akuntan BPKP itu melakukan pemeriksaan. Dengan demikian, auditor BPKP seharusnya tidak dapat mendasarkan kesimpulannya kepada laporan konsultan tersebut.

Mestinya auditor BPKP melakukan pemeriksaan lapangan (field audit) terhadap jaminan itu secara langsung. Jika cara ini tak dapat dilaksanakan, pada saat dilaksanakannya pemeriksaan mereka seharusnya meminta bantuan dari Konsultan Penilai yang independen, dengan biaya dari negara (kejaksaan). Dengan demikian, sang auditor akan memperoleh keyakinan yang memadai untuk memperoleh kesimpulan apakah utang Texmaco dapat ditutupi oleh jaminan yang cukup. Penulis menduga, tidak dilaksanakannya prosedur tersebut karena pemeriksaan auditor telah dibatasi oleh kejaksaan. Karena telah di-bon oleh Kejaksaan Agung, pemeriksaan mereka dibatasi hanya terhadap dokumen Kasus Texmaco yang diberikan oleh aparat Kejaksaan Agung. Akibatnya, auditor BPKP hanya melakukan pemeriksaan di atas meja (desk audit). Mereka hanya menyatakan bahwa Kasus Texmaco ini belum merugikan negara dengan catatan tambahan.

Keempat, tenaga ahli dari BPKP kurang mampu mendefinisikan kerugian negara. Selain ketiga alasan tadi, saya juga melihat kelemahan tenaga ahli BPKP. Mereka kurang mampu mendefinisikan kerugian negara. Para  auditor yang kebanyakan akuntan itu kurang mampu mendefinisikan kerugian nyata dan kerugian potensial sebagaimana dilansir oleh Laksamana Sukardi. Menurut Sukardi, kerugian negara telah timbul akibat bunga kredit macet Bank BNI yang harus ditanggung oleh APBN. Apalagi jika ditambahkan dengan kerugian negara karena penggunaan devisa yang tidak hati-hati. Artinya, Sukardi melihat bahwa para akuntan BPKP itu hanya menyoroti korupsi dengan perspektif yang sempit, yaitu dengan "kacamata kuda".

Hal itu juga dilansir oleh Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Hendardi. Jika para akuntan masih terus-menerus menggunakan perspektif ini, jangan berharap banyak pelaku korupsi akan dihukum di negeri ini. Padahal, UU Pemberantasan TPK telah tegas-tegas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian negara tidak hanya kerugian keuangan negara (monetary atau accounting loss), tapi juga kerugian perekonomian negara (economic loss).

Masalahnya, para akuntan, sebagaimana halnya akuntan BPKP, hanya dididik dan hanya mampu menghitung accounting loss. Accounting loss ini lebih melihat kerugian berdasarkan catatan akuntansi. Artinya, jika menurut catatan akuntansi kerugian telah timbul, barulah para akuntan menyatakan adanya kerugian. Parahnya, menurut pandangan akuntan, suatu transaksi keuangan baru dapat dimasukkan dalam catatan akuntansi jika kemungkinan (probability) terjadinya tinggi.

Di sisi lain, economic loss (atau biasa disebut economic loss doctrine) melihat definisi kerugian jauh lebih luas dari definisi accounting loss. Sebab, economic loss terdiri dari direct economic loss dan consequential economic loss. Jika dihitung, pengusaha tersebut mengalami direct economic loss senilai harga komponen mesin tersebut (out of pocket cost), yaitu Rp 5  juta. Tapi, pengusaha tersebut juga mengalami consequential economic loss, yaitu gagalnya sang pengusaha memperoleh keuntungan senilai Rp100 juta.

Dalam persidangan hukum komersial di Amerika Serikat, walaupun sulit, perhitungan economic loss ini telah sering diterapkan. Mestinya, dalam Kasus Texmaco akuntan BPKP mampu menghitung economic loss negara, sebagaimana diungkapkan oleh Sukardi. Jika economic loss ini diperhitungkan, paling tidak negara telah dirugikan karena hilangnya devisa, tidak diterimanya pajak ekspor, dan dibebankannya biaya bunga rekapitalisasi ke APBN.

Jadi, dari keempat alasan yang diuraikan di atas, tampak jelas, secara teori tidak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan terhadap Kasus Texmaco.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke