Langsung ke konten utama

Korupsi Sistemik dan THR

Apakah korupsi itu budaya? Itu pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Banyak argumentasi yang diberikan untuk “membela” bahwa korupsi itu bukanlah budaya. Salah satu argumentasinya, seorang penggerak korupsi Olesegun Obasanjo dari Nigeria menyatakan bahwa pemberian hadiah ke pemimpin adat dalam suatu acara adat di masa lalu selalu dilakukan secara terbuka. Artinya, budaya masyarakat di masa lalu selalu dibangun secara terbuka. Pemberian hadiah ini bukanlah budaya korupsi. Tindakan korupsi cenderung tidak transparan. Pemberian korupsi biasanya dilakukan di bawah tangan, tidak terbuka.

Saya lebih melihat korupsi itu ditumbuhkan oleh kebiasaan. Sebagai contoh, ketika kita berlebaran, adalah kebiasaan untuk memiliki hal-hal baru. Memang lebaran adalah merayakan hari kemenangan, setelah berpuasa selama sebulan penuh. Untuk memenuhi kebiasaan tersebut, semua organisasi mengenal adanya uang THR. Perusahaan swasta diwajibkan untuk memberikannya. Jika tidak, tentu akan ada sanksinya.

Pada organisasi publik, kebiasaan ini pun merembet. Adalah kelaziman, secara informal adanya THR untuk pegawai negeri. Di masa lalu, uang THR ini ada yang disiapkan secara formal atau tidak formal. Misalnya, secara formal pada beberapa pemerintah daerah disediakan anggaran khusus untuk THR, dengan peristilahan yang beragam. Secara tidak formal, anggaran itu biasanya dimintakan dari rekanan. Tentu tidak semua mau mengakui yang bersifat informal ini. Sialnya, si penerima, yaitu para pegawai negeri, tidak peduli dari mana sumbernya. Mereka bahkan menganggap hal itu adalah sah-sah saja dan menjadi “kewajiban” bagi pimpinan organisasi untuk menyiapkan anggarannya.

Dalam sebuah wawancara radio yang membahas THR, ada seorang wanita, PNS sebuah kementerian yang polos bercerita pengalamannya dengan THR. Katanya, THR pertama kali dia terima ketika baru jadi PNS, yaitu dari beberapa atasannya. Terus, dengan polos si penyiar bertanya, “Loch, emang dari mana uangnya? Kan PNS tidak punya THR.” Si PNS dengan enteng bilang bahwa itu uang yang dikumpul-kumpulkan kantornya. Agak ngeles, dia bilang: “Kan, kami punya koperasi.” “Uang itu kemudian saya gunakan untuk biaya nikah,” tambahnya dengan bangga. Jawaban yang aneh. Mana mungkin uang dari koperasi bisa untuk biaya menikah.

Belakangan, good governance semakin ditegakkan di negara kita. Setelah memasuki fase good governance, semakin sulit bagi organisasi publik untuk menyediakan anggaran THR dari sumber tidak formal. Syukurnya, pemerintah kemudian mengucurkan gaji ke-13, yang waktunya berdekatan dengan hari raya pada tahun ini. Sebelumnya, pemberian gaji ke-13 ini lebih ditujukan untuk membantu pegawai negeri menghadapi pembiayaan anak-anaknya pada tahun ajaran baru.

Hanya saja, penyediaan gaji ke-13 itu baru menyelesaikan masalah THR para pegawai negeri. Pada kenyataannya, kini di instansi pemerintah banyak pegawai honorer atau tenaga harian lepas. Sampai saat ini, pemerintah tidak menyediakan anggaran gaji ke-13 untuk mereka. Akhirnya, pimpinan instansi harus berpikir secara cerdas mencari pembiayaan THR tersebut. Memang, pemberian tersebut tidak wajib, tetapi hanya kelaziman. Namun, kelaziman inilah yang sebenarnya menjadi awal malapetaka.

Pimpinan organisasi lantas mencari cara untuk membiayai THR tenaga harian lepas tersebut. Cara yang paling mudah adalah meminta sumbangan dari pegawai negeri yang mendapat gaji ke-13 itu. Jumlah tertentu dari gaji ke-13 tersebut dipotong langsung dan dianggap sebagai biaya sosial. Dalam jangka pendek, cara seperti ini tidak masalah. Namun, kadang malah menjadi masalah besar ketika ada salah satu pegawai di sebuah instansi pemerintah yang tidak setuju dengan pemotongan tersebut. Apalagi jika kemudian hari tindakan pemotongan itu dipolitisasi.

Cara yang paling klasik untuk membiayai THR para tenaga harian lepas tersebut adalah meminta rekanan menyisihkan anggarannya. Memang cara ini sangat praktis. Namun, mengingat biaya pengadaan sudah semakin efisien, biasanya saat ini sudah sangat berisiko meminta rekanan “berpartisipasi” untuk membiayai THR tersebut. Kalaupun ada, praktiknya biasanya bersifat himbauan dan aliran dana akan langsung diberikan dari rekanan ke para tenaga harian lepas tersebut.

Sialnya, masalah THR itu tidak hanya memusingkan untuk kepentingan tenaga harian lepas. Karena awalnya sudah menjadi kebiasaan, walaupun sudah mendapat gaji ke-13, para pegawai negeri rendahan pun sering menuntut adanya THR. Mereka beralasan bahwa kebutuhan untuk lebaran, terutama belanja pakaian baru atau pulang kampung, sangat dibutuhkan. Cara yang paling cerdas untuk mengatasi ini adalah dengan memberikan honor kegiatan atau uang harian perjalanan dinas.

Pembelajaran

Dari kebiasaan mengatasi masalah THR ini, secara tidak sadar sebenarnya kita telah mengabaikan prinsip Ramadhan. Bulan yang mestinya berisi penyucian diri ini akhirnya diisi oleh hal-hal yang tidak baik. Secara tidak sadar, kita telah menumbuhkan budaya korupsi pada diri kita dan lingkungan kita. Masalahnya, persoalan THR ini adalah persoalan sistemik di lingkungan birokrasi. Kita juga harus menyelesaikannya secara sistemik.

Upaya pelarangan pemberian parcel oleh KPK ke para pegawai negeri merupakan bentuk nyata. Dengan larangan ini, sudah mulai jarang terlihat adanya parcel yang datang ke kantor pemerintah menjelang lebaran. Di masa lalu, parcel ini bersileweran. Ketika pejabat penerima parcel memberikan sebagian parcel tersebut kepada bawahannya, ia dianggap sebagai pejabat yang dermawan. Padahal, parcel ini merupakan persoalan sistemik korupsi menjelang lebaran.

Berkaitan dengan THR, mestinya kita harus merenungkan kembali kata fitrah, makna penyucian diri pada bulan Ramadhan ini. Janganlah THR yang sebenarnya nilainya tidak signifikan malah merusak upaya penyucian diri tersebut.

Hal ini juga bisa menjadi pembelajaran bahwa ternyata korupsi secara tidak sadar ditumbuhkan dari proses ritual keagamaan yang salah, yaitu lebaran yang harus diisi oleh hal yang serba baru. Lebaran harus dikembalikan sebagai penyucian diri kita. Untuk menyadarkan ini, penting artinya agar kita semua berperan. Semua zakat, infaq, dan sedeqah yang dikucurkan haruslah dari sumber yang halal. Jangan tumbuhkan korupsi sistemik selama lebaran ini.

Bagaimana pendapat Anda?

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke