Langsung ke konten utama

Hamburkan Uang Rakyat, Dirjen Anggaran "Digugat"

Penulis: Didik Purwanto

Minggu, 10 Maret 2013 | 11:48 AM
JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) menyatakan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan dinilai telah menghamburkan uang negara miliaran rupiah hanya untuk membuat Sistem Aplikasi Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL).

Koordinator Advokasi Fitra Maulana mengatakan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan adalah yang bertanggungjawab membuat sistem aplikasi ini. Dalam catatan Fitra, untuk membuat satu sistem aplikasi RKA-KL selama tiga tahun (2011-2013), Dirjen Anggaran menghabiskan anggaran sampai Rp 16,7 miliar.

"Ini anggaran besar, ini hanya buang uang negara karena sebenarnya tidak bermanfaat bagi publik," kata Maulana dalam konferensi pers di Resto Bumbu Desa Cikini Jakarta, Minggu (10/3/2013).

Maulana menjelaskan, data jumlah dana tersebut diperoleh dari Keputusan Presiden tentang penjabaran APBN 2011-2013. Rinciannya tahun 2011 dianggarkan Rp 8,75 miliar, tahun 2012 sebesar Rp 4,22 miliar dan tahun 2013 dianggarkan Rp 3,76 miliar.

Dengan dalih pengembangan dan perbaikan sistem penganggaran, Dirjen Anggaran dinilai sebenarnya telah menggunakan uang rakyat secara tidak efektif. Padahal dengan sistem aplikasi anggaran tersebut ternyata justru mempersulit para pejabat perencanaan anggaran di Kementerian atau Lembaga negara bahkan di internal Kementerian Keuangan sendiri.

"Sebab, Dirjen Anggaran setiap tahun selalu merubah format RKA-KL. Biasanya, perubahan sistem aplikasi RKA-KL dilakukan dengan mengutak-atik kode rekening, kode komponen dan sub komponen. Jelas, Dirjen Anggaran membuat sistem informasi anggaran yang menghambat informasi," tambahnya.

Maulana menambahkan perubahan sistem aplikasi RKA-KL tidak memberikan manfaat bagi rakyat. Sebab rakyat butuh program-program yang riil dan dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan. "Bukan dengan membuat sistem aplikasi. Seharusnya sistem aplikasi yang sudah dibuat di tahun sebelumnya dapat digunakan lagi. Tanpa harus menganggarkan untuk sistem aplikasi yang baru. Meski itu hanya sedikit modifikasi atau perubahan," tambahnya.

Sehingga Fitra menuntut kepada Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan untuk membatalkan anggaran untuk sistem aplikasi RKA-KL tahun 2013 ini dan merelokasi untuk anggaran kesehatan yang lebih berpihak kepada rakyat. Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan cukup menggunakan sistem aplikasi RKA-KL tahun sebelumnya untuk menyusun RKA-KL tahun anggaran 2014. "Jangan buang uang rakyat untuk kepentingan yang tidak bermanfaat bagi rakyat," tambahnya.

Selain itu, Fitra juga menuntut Komisi XI DPR RI untuk membatalkan anggaran sistem aplikasi ini. Jika tidak, ini mengindikasikan bahwa Komisi XI tidak mengerti dan buta soal penganggaran. Serta Fitra juga menuntut Presiden SBY untuk segera mengintegrasikan sistem perencanaan dan penganggaran. "Pemisahan sistem perencanaan penganggaran hanya buang uang rakyat untuk kepentingan proyek birokrat dan tidak bermanfaat bagi rakyat," jelasnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke