Langsung ke konten utama

Good NGO Governance

Good NGO Governance
Tablod Kontan, 14/V Tanggal 25 Desember 2000

Agam Fatchurrochman
Koordinator Divisi Investigasi ICW
Rudy M. Harahap
Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi

Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata Non-Government Organization (NGO) atau biasa disingkat LSM? Secara umum, Anda pasti membayangkan sekelompok orang yang radikal, nonkompromi, prolingkungan, antikemapanan, dan selalu meminta pertanggungjawaban pemerintah dengan gegap gempita. Karena itulah, oleh penguasa mereka kerap dianggap sebagai batu sandungan.

Bagi yang berpandangan sinis, bayangan yang didapat mungkin seperti ini: corong kepentingan asing, dana dari negara asing, tidak sopan, dan tidak berkepribadian Indonesia. Mereka cenderung dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah yang berkuasa. Ini wajar, karena pada awalnya keberadaan LSM relatif tidak dikenal masyarakat, kecuali pada saat booming LSM JPS yang lalu --ketika LSM banyak yang menawarkan dirinya menjadi kontraktor pelayanan umum (public service contractor) proyek pemerintah. LSM jenis ini biasa disebut LSM "pelat merah" atau government NGO.

Bayangan tersebut ada benarnya. Sebab, selama ini sumber dan cara LSM mendapatkan sumber daya keuangan dan nonkeuangan untuk aktivitasnya sering tidak jelas. Apalagi, jika dipertanyakan cara LSM mengelola sumber dayanya. Karena itu, akuntabilitas publik LSM selama ini masih luput dari pengamatan kita.
Dalam dunia kenegaraan (government) dan swasta (corporate), akuntabilitas publik bukan barang baru. Diskusi tentang ini pun sedang marak karena menjadi salah satu persyaratan IMF. Sayangnya, sampai saat ini diskusi good governance tidak pernah berkembang dan menyentuh dunia LSM. 

LSM kebanyakan berbentuk yayasan

Akuntabilitas dan transparansi pemerintah memang selalu diteriakkan oleh kalangan LSM. Akan tetapi, untuk menerapkannya ke dalam dirinya sendiri, rasanya masih tertinggal jauh. Tidak aneh jika sampai sekarang masih banyak masyarakat yang mengesankan LSM sebagai agen negara asing. Karena itu, untuk menghilangkan kesan tersebut, Good NGO Governance (GNG) perlu diterapkan.

Pertanyaannya, apa yang mesti diterapkan dalam GNG? Sebelum membahas hal ini, terlebih dulu dibahas tentang bentuk badan hukum LSM. Selama ini kebanyakan LSM di Indonesia sebenarnya berbentuk yayasan, seperti YLBHI, Bina Swadaya, dan Dian Desa. Memang, ada LSM semacam Ikatan Akuntan Indonesia dan Masyarakat Transparansi Indonesia yang bukan yayasan, tapi asosiasi keanggotaan. Namun, LSM semacam ini tidak banyak di negeri ini, sehingga pembahasan mengenai governance LSM lebih banyak berkaitan dengan LSM yang berbentuk yayasan. Pada umumnya yayasan LSM didirikan dengan cara memisahkan kekayaan pihak-pihak yang ingin mendirikan yayasan (pendiri) untuk dijadikan kekayaan awal yayasan. Pemisahan dilakukan sedemikian rupa sehingga para pendiri tidak lagi memiliki kekuasaan yang nyata atas kekayaan yang dipisahkan. Hal ini berbeda sekali dengan badan hukum PT, di mana hubungan kepemilikan masih ada, yaitu dalam bentuk saham.

Karena didirikan oleh beberapa pendiri, yayasan biasanya sangat bergantung pada para pendirinya. Ketergantungan ini terutama dalam modal awal kegiatan dan pengelolaan kegiatan sehari-hari. Biasanya, peran pendiri yayasan ini diakomodasikan dalam dewan pendiri atau dewan etik. Dewan pendiri inilah yang nantinya akan menentukan pengelola (manajemen atau dewan pengurus) sehari-hari yayasan tersebut.

Meskipun bentuknya sudah jelas-jelas disebut yayasan, LSM sebenarnya mempunyai ciri yang agak berbeda dengan yayasan lainnya. Terutama sekali bila dibandingkan dengan yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Sebab, yayasan LSM biasanya dibentuk karena adanya sekelompok idealis yang mengajak beberapa tokoh masyarakat untuk terlibat. Biasanya mereka yang dilibatkan itu ditempatkan sebagai pendiri atau anggota dewan etik. 
Sembari memantapkan organisasi, yayasan LSM biasanya mengumpulkan uang dari pendirinya atau dari sumbangan masyarakat. Kemudian, setelah mendapat cukup reputasi dan jaringan, biasanya mereka mulai melirik sumber dana dari LSM asing, charitable foundation atau funding agency. Karena itu, jarang sekali LSM di Indonesia yang tumbuh dari iuran anggotanya.

Sayangnya, setelah mendapatkan dana dari luar negeri, yayasan LSM sering lupa untuk membentuk basis pendanaan dari masyarakat di dalam negeri, seperti yang dimaksudkan pada awal pendirian. Itulah sebabnya, banyak LSM yang tidak sadar pentingnya good governance di kalangan mereka sendiri.

Komponen Good NGO Governance

Dengan sifat lembaga yang seperti ini, memang agak sulit untuk memperkenalkan GNG. Apalagi belum ada buku teks khusus yang memperkenalkan good governance untuk LSM. Anthony dan Govindarajan --yang buku teksnya mengenai sistem pengendalian manajemen banyak dibaca kaum akademisi-- pun hanya menyisihkan beberapa halaman untuk membahas good governance di organisasi nirlaba semacam ini.

Ini berbeda sekali dengan pembahasan GCG. Entah berapa buku dan riset yang sudah membahasnya. Pada intinya, GCG menyangkut empat komponen yaitu keadilan (fairness), transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Biasanya empat komponen itu dirinci lagi menjadi persyaratan mengenai susunan dan peran dewan komisaris, dewan direksi, dan komite audit serta pengungkapan mengenai kompensasi komisaris dan direksi, pelaporan keuangan (financial statements), dan laporan tahunan (annual report). Namun, untuk menerapkan empat komponen itu di LSM rasanya sulit. 

Sebenarnya ada beberapa hal yang dapat diterapkan di LSM yang mirip organisasinya dengan perusahaan. Pertama, mengenai susunan dan peran dewan pengurus. Dewan pengurus LSM harus dipilih orang yang tepat. Kriterianya, mereka merupakan tokoh masyarakat, memiliki reputasi bagus, dan mampu memberikan visi mengenai organisasi. Berdasarkan latar belakang inilah mereka mampu mengontrol dan menjadi panutan organisasi. Kebanyakan LSM, kecuali LSM "pelat merah", tidak ada masalah dengan ini.

Kedua, mengenai pemilihan pengelola (dewan pengurus) yayasan LSM. Karena dewan pendiri tidak bisa mengelola kegiatan secara penuh (day-to-day), untuk menjalankan visi organisasi harus dipilih pengelola (badan pelaksana). Mereka yang duduk di sini harus orang yang tepat dan amanah. Untuk mencegah mereka berbuat curang, mereka harus diberi gaji yang memadai. Rasanya ini pun sudah diterapkan di kebanyakan LSM.

Ketiga, pelaporan keuangan. LSM kebanyakan tidak mengenal akuntansi, dalam arti double entry bookkeeping. Di kalangan LSM biasanya hanya dikenal pembuatan anggaran, inventarisasi aset, dan pencatatan uang keluar masuk. Itulah sebabnya, banyak yayasan LSM yang tidak tahu nilai aset yang dimiliki, kewajiban, sumbangan yang diterima, cash flow, serta sisa dana (fund balance) akhir tahun. Padahal sudah ada standar akuntansi untuk laporan keuangan organisasi nirlaba. Karenanya, jika ditelaah lebih jauh, banyak sebenarnya LSM yang keuangannya belum accountable. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian LSM jika mereka ingin menerapkan GNG.

Keempat, pelaporan kegiatan. LSM harus membuat laporan tahunan. Laporan ini harus menggambarkan kegiatan yang telah dan akan dilakukan, sumber pendanaannya, serta indikator keberhasilannya. Nah, yang menjadi masalah, dalam rangka penegakan GNC, kepada siapa sebenarnya laporan ini harus dikirim? Umumnya LSM hanya menyampaikan laporannya ke penyandang dana (funding) dan pendiri. Tapi, karena LSM adalah bagian dari dan milik masyarakat (stakeholder), laporan ini mestinya dapat juga diakses oleh masyarakat.

Kelima, sistem pengendalian manajemen. LSM mesti melakukan pengendalian keuangan. Kebanyakan pengendaliannya seperti discretionary expense center. Di sini pengendalian diarahkan pada biaya-biaya yang sifatnya kebijakan. Jadi, pengendaliannya kebanyakan pada aspek anggaran, yaitu membandingkan bujet dengan aktual, karena hal ini berkaitan dengan mekanisme pendanaan yang biasanya berasal dari grant lembaga funding. Harusnya, pengendalian tersebut diperluas sehingga menjadi pengendalian yang build-up through the systems.

Laporan keuangan LSM ukurannya harus universal

Dalam hubungannya dengan laporan keuangan, yayasan LSM biasanya tidak memiliki tujuan dan ukuran pencapaian laba. Jika tujuan organisasi bisnis adalah mencapai laba dengan ukuran tertentu, organisasi LSM sudah pasti tidak mempunyai tujuan dan ukuran ini. Memang, tujuan organisasi LSM bisa bermacam-macam, tapi ukuran pencapaian tujuan ini sulit dan jarang diukur secara kuantitatif. Tiadanya ukuran yang komprehensif, memuaskan, terutama kuantitatif, memang telah menjadi masalah serius bagi organisasi semacam LSM ini.

Namun, laporan keuangan LSM sebisa mungkin harus tetap menggunakan ukuran yang universal dalam pengukuran pencapaian tujuannya. Karena itu, LSM sebaiknya memelihara laba --dalam bahasa akuntan biasa disebut kenaikan aktiva bersih-- yang tidak terlalu besar. Laba yang tinggi menandakan LSM tersebut tidak menyediakan jasa yang memadai sesuai tujuannya. LSM jenis inilah yang perlu dicurigai sebagai LSM "pelat merah". 

Namun, jangan sampai LSM juga mengalami kerugian, karena akan membangkrutkan dirinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke