Langsung ke konten utama

Partai Politik dan Teknologi Informasi

Apakah campur tangan partai politik berpengaruh terhadap perkembangan teknologi informasi (TI) di tanah air? Pertanyaan ini sangat relevan dengan kejadian terungkapnya kasus penyuapan yang diduga -- sekali lagi diduga -- melibatkan ketua umum sebuah partai (LHI). Tentu Anda telah mengetahui bahwa salah satu kader partai yang diduga terlibat penyuapan ini pun memimpin sebuah kementerian di bidang kominfo.

Ketika pertama sekali menteri tersebut memimpin kementeriannya, banyak keluhan kepemimpinannya. Bahkan, sampai saat ini hal itu masih terjadi. Maklumlah, sebelumnya kementerian ini dipimpin oleh orang terpelajar dengan gelar doktor dan embel-embel lain di belakang namanya. Belakangan, dengan dipimpin oleh kader partai, saya melihat muncul keluhan dari pejabat-pejabat di kementerian tersebut.

Bayangkan, dari yang saya dengar, jangan berharap bisa promosi kalau tidak ada hubungannya dengan partai tersebut. Bahkan, ada joke, ntah itu benar atau tidak, kalau mau promosi, ya harus pernah salaman dengan LHI. LHI itu sangat dikenal karismatik untuk urusan seperti ini. Di kalangan intelejen pun, salah satu anggota majelis syuro partai ini masih tercatat ada keuarganya yang memiliki keterhubungan dengan NII.

Memang, kita tentu tidak melihat secara nyata adanya intervensi pelanggaran tindak pidana korupsi dalam pengadaan-pengadaan di kementerian ini. Sekilas, semua berjalan sesuai dengan etika. Ini terbukti belum ada kadernya yang duduk di jabatan kementerian ini yang diproses hukum.

Yang menjadi isu adalah kompetensi dan keterkaitannya dengan partai. Dalam pandangan saya, adalah tidak terhindarkan sebenarnya ketika Indonesia menuju good governance -- di mana partai politik berperan di dalamnya -- terdapat kader-kader partai yang duduk di pemerintahan. Yang dalam hal ini tentu mereka adalah simpatisan partai. Atau, yang dipandang partai mengejawantahkan "warna" partai.

Namun, ketika karena masuknya kader-kader partai ini dalam kementerian yang mengurusi kominfo, kemudian perkembangan TI di Indonesia menjadi stuck, itu perlu direnungkan kembali. Jangan-jangan, memang harus didefinisikan lagi mana kementerian yang boleh diisi kader partai, mana yang harus murni profesional.

Jujurnya, dalam kepemimpinan kader partai di kementerian urusan kominfo, kita tidak melihat progress. Lihat saja, tidak banyak dialog dengan komunitas yang berhasil dikembangkan. Walaupun, argumentasi ini subjektif, dan dengan angka-angka tertentu mudah sekali dipatahkan.

Akan tetapi, rasanya, berhubung dengan adanya kasus dugaan penyuapan tersebut, perlulah kita merenungkan kembali sampai di mana sebenarnya keterlibatan partai politik dimungkinkan dalam sebuah organisasi kementerian.

Pada awal-awal kabinet ini dibentuk, saya juga memiliki teman kader partai yang sama di sebuah kementerian yang menjadi staf khusus. Pada awalnya, ia mencoba memasuki urusan-urusan teknis instansi pemerintah, seperti pengadaan. Saya kemudian mengingatkan agar hal-hal seperti itu tidak dimasuki olehnya, tetapi cukup mengoptimalkan lembaga pengawasan pemerintah yang ada. Sampai saat ini, kawan saya tersebut tidak pernah memiliki kasus hukum dan kementeriannya tidak pernah direcoki oleh berbagai kasus, walaupun pada awalnya sempat meruncing.

Nach, bagaimana kira-kira pandangan Bapak/Ibu sekalian tentang pertanyaan penelitian di awal: Apakah campur tangan partai politik berpengaruh terhadap perkembangan TI di tanah air? Sampai di mana sebenarnya dimungkinkan adanya kader partai di sebuah kementerian yang terkait kominfo?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke