Langsung ke konten utama

Apa Khabar Reformasi Birokrasi: Renungan Awal Tahun 2013

Reformasi. Sebuah kata yang begitu populer di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru berakhir tahun 1998. Semua orang bersemangat menggunakan kata ini. Bahkan, lingkungan pemerintahan pun menggunakan jargon ini: reformasi birokrasi. Setelah memasuki tahun ke-14, sudah sampai di mana proses reformasi kita? Apakah kita berhasil mereformasi Indonesia? Atau, reformasi sedang memasuki era kegagalannya, setelah banyaknya "penumpang gelap" reformasi?

Dalam lingkungan birokrasi, memang telah dibentuk struktur tim reformasi birokrasi nasional, di mana komite pengarahnya dipimpin langsung oleh wakil presiden. Bahkan, untuk mendampingi komite pengarah, telah dibentuk tim independen dan tim quality assurance. Pelaku langsung reformasi birokrasi adalah unit pelaksana reformasi birokrasi nasional, yang diketuai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB).

Sayangnya, tim independen dan tim quality assurance yang kebanyakan berasal dari kompenen akademisi dan civil society tampaknya sudah mulai dalam posisi gamang ketika proses reformasi itu ternyata banyak dinodai berbagai kepentingan. Lihatlah contoh tidak jelasnya posisi Kementerian PAN dan RB. Di satu sisi ia akan ditempatkan sebagai koordinator pelaku reformasi, ia juga ingin berperan sebagai assurer proses reformasi birokrasi, bahkan mengambil peran tim independen.

Memang, pembentukan tim reformasi pada tingkat nasional ini telah mengalami beberapa permasalahan. Pada awalnya, proses reformasi birokrasi akan dipimpin langsung oleh wakil presiden. Sialnya, pada saat yang sama Kementerian PAN telah diubah menjadi Kementerian PAN dan RB. Mau tidak mau, akhirnya kementerian ini juga harus diperankan dalam urusan reformasi. Akhirnya, terbentuklah struktur saat ini berdasarkan kompromi para pihak, sesuai dengan budaya Indonesia yang kompromistis. 

Berdasarkan kondisi itu, tidaklah terlalu mengagetkan jika kata reformasi yang mestinya berkonotasi sebagai hal yang radikal, di Indonesia dipersepsikan sebagai kata yang biasa saja, bahkan menjadi sulit dibedakan dengan hanya dimaknai sebagai penataan-ulang saja.

Proses reformasi pun kini dimaknai sebagai pemenuhan checklist dalam rangka memperoleh remunerasi. Sebuah checklist yang dibentuk tanpa melibatkan publik sebagai pengguna langsung layanan publik. Akhirnya, setelah checklist dipenuhi dan remunerasi diperoleh, publik mempertanyakan hasil real reformasi birokrasi. Mereka masih belum melihat manfaat signifikan dari proses reformasi birokrasi.

Memang, kita juga tidaklah pantas menafikan kemajuan yang telah diperoleh dari reformasi pelayanan publik. Sayangnya, inisiatif perubahan itu masih bersifat parsial-parsial. Masing-masing lembaga begitu bersemangat mencari quick win hasil reformasi. Di tingkat kepolisian, layanan penerbitan ijin mengemudi yang lebih cepat. Di imigrasi, layanan pembuatan paspor. Di pemerintah daerah, layanan penerbitan kartu penduduk.

Namun, karena bersifat parsial, sustainability quick win tersebut menimbulkan pertanyaan. Lihatlah contoh ketika pejabat kepolisian yang mengurusi kelantasan terlibat kasus korupsi, apakah quick win layanan kelantasan akan berkembang, atau stuck sama sekali? Lihat kondisi di mana sampai sekarang kita tidak memiliki sistem layanan SIM yang terintegrasi dan sistemnya masih terpaku berdasarkan region-region tertentu. 

Di awal 2013 ini, sudah selayaknya semua pihak merenungkan kembali posisinya masing-masing. Semua pihak harus jujur mengakui apa yang belum berhasil dilakukan dan apa yang sudah berhasil dilakukan. Dari sinilah, awal dapat disusunnya rencana aksi reformasi birokrasi yang lebih mengena langsung ke publik sebagai the real customer of pulic services.

Komentar

Doni mengatakan…
kontes blog bank mandiri: klik disini

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke