Langsung ke konten utama

Narkoba dan Korupsi

Pemberitaan tentang narkoba dan korupsi belakangan ini saling berlomba untuk saling menyalib. Ketika Presiden memberikan grasi kepada seorang terpidana hukuman mati karena narkoba, banyak kalangan yang mengecam. Sampai-sampai, terjadi perdebatan sengit di media antara Ketua MK dan kalangan istana. Ketua MK menuding adanya dugaan mafia narkoba yang sudah menyusup ke kalangan istana. Bahkan, di dunia twitter, tudingan itu sudah mendekati keluarga lingkungan istana.

Belum lagi berita ini tuntas, tiba-tiba Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengangkat isu tentang dugaan korupsi di beberapa kementerian. Banyak pihak yang melihat keanehan pelaporan dugaan korupsi ini. Mereka menduga ini hanyalah pengalihan dari munculnya kecaman pemberian grasi narkoba. Sampai-sampai, mantan wakil presiden JK melihat ini pelanggaran prosedur yang tidak biasa. Lazimnya, sudah ada prosedur internal untuk menangani dugaan penyelewengan di kalangan birokrasi, yaitu melalui mekanisme pengawasan internal, baik yang dilakukan oleh inspektorat atau melalui BPKP.

Bisa kita bayangkan kini kegoncangan yang terjadi di lingkungan kabinet. Pertanyaan mendasar adalah apakah Dipo Alam sudah tidak mempercayai lagi mekanisme yang ada? Atau Dipo Alam sudah sangat jengkel dengan kondisi yang ada di lingkungan kabinet? Ini tentu pertanyaan yang sulit dijawab. Hanya Dipo Alam sendirilah yang dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Hanya saja, menurut saya, kedua hal itu terjadi bersamaan hanyalah karena faktor kebetulan saja. Isu narkoba dan korupsi memang sering bertarung di negara kita saat ini. Hal ini tampak dari informasi seorang pejabat sebuah kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Ketika secara kebetulan bertemu di sebuah pesawat dari Medan, pejabat tersebut bercerita tentang narapidana di lembaga pemasyarakatan kita. Menurutnya, dari sejumlah lembaga pemasyarakatan yang pernah dikendalikannya, jumlah narapidana tertinggi adalah terkait dengan pelanggaran narkoba. Kedua adalah pelanggaran tindak pidana korupsi.

Sayangnya, menurutnya, kita memberikan perlakuan yang sama antara narapidana pengguna narkoba dan pengedar narkoba. Akibatnya, para sipir kesulitan mengendalikan mereka. Selain jumlah sipir yang terbatas -- di mana ada lembaga pemasyarakatan yang jumlah narapidananya 3.000, tetapi sipirnya hanya 20 orang -- para sipir kesulitan menangani narapidana pengguna narkoba.

Untuk mengatasi narapidana pengguna narkoba, katanya, sudah menjadi rahasia umum ada treatment khusus. Ketika narapida tersebut sakau, sudah pasti ada dokter yang menangani. Para dokter ini terpaksa memberikan penanganan ke para narapidana ini dengan obat sejenis narkoba juga, paling tidak megadon. Jika ini tidak diberikan, para narapida yang sakau akan melakukan tindakan yang merusak diri sendiri. Sebagai contoh, kita bisa lihat beberapa narapidana yang meninggal di LP Kerobokan, Denpasar. Bentuk tindakan yang mereka lakukan bisa dalam bentuk memukul-mukul pagar besi, atau yang paling drastis membenturkan kepalanya ke benda keras yang ada di sekitarnya.

Menyikapi hal ini, menurutnya, sudah tidak terhindarkan lagi untuk memisahkan antara narapidana pengguna dan pengedar narkoba. Jika tidak, maka sebenarnya bukanlah hal aneh jika para narapidana bos pengedar narkoba malah mengendalikan bisnis narkobanya dari lembaga pemasyarakatan.

Dalam pandangannya, harus diberikan perlakuan berbeda antara pengguna dan pengedar narkoba. Bagi pengedar narkoba, tidak ada ampun lagi, mereka harus dihukum mati. Terhadap pengguna, harus dilakukan program rehabilitasi.

Saya sependapat dengan argumentasi tersebut. Sebab, jika kita tidak cerdas mengelolanya, permasalahan narapidana narkoba ini akan menjadi masalah baru dalam tindak pidana korupsi. Saya mendengar bahwa ternyata pemberian hukuman seorang pengguna narkoba apakah akhirnya akan dipidana penjara atau dimasukkan ke panti rehabilitasi telah menjadi bisnis tersendiri di kalangan aparat penegak hukum. Artinya, jika permasalahan narapidana pengguna narkoba ini tidak dibenahi malah akan menimbulkan bisnis korupsi baru di lingkungan birokrasi, terutama para aparat penegak hukum di lingkungan eksekutif ataupun judikatif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke