Langsung ke konten utama

Kolaborasi Rekrutmen CPNS

Dalam beberapa bulan ke depan, pemerintah akan memiliki hajatan besar, yaitu penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS). Pada tahun ini, ada yang berbeda dari tahun sebelumnya. Kali ini, pemerintah berkolaborasi dengan perguruan tinggi melalui konsorsium perguruan tinggi. Kolaborasi tersebut adalah dala bentuk pembuatan soal test kompetensi dasar (TKD) dan koreksi berkas. Namun, untuk ujian lain diserahkan prosesnya ke masing-masing instansi. Artinya, peserta seleksi akan dinilai oleh 2 pihak, yaitu konsorsium perguruan tinggi dan instansi yang merekrut CPNS.

Yang menarik lagi, hasil test TKD tersebut ada masa berlakunya. Nilai TKD ini juga dapat digunakan untuk mendaftar ke instansi lain. Misalnya, jika Anda mendaftar ke suatu instansi, tetapi Anda tidak lulus pada instansi tersebut, sepanjang lewat passing grade, hasil test tersebut bisa Anda gunakan untuk mendaftar ke instansi lain yang membuka lowongan, sepanjang masih dalam masa berlaku. Dengan demikian, Anda tidak perlu melakukan ujian TKD lagi, sepanjang terpenuhi persyaratannya. Anda hanya perlu mengikuti ujian materi non-TKD.

Memang, mengingat ini adalah kolaborasi awal, tentu masih banyak tantangan di sana-sini. Sebagai contoh, sampai dengan saat ini, berkas soal yang akan digandakan oleh instansi belum diterima oleh instansi yang akan mengadakan ujian. Ini menimbulkan was-was instansi yang akan mengadakan ujian dalam waktu dekat ini.

Selain itu, timbulnya kecurigaan dari beberapa pihak di instansi tentang keterlibatan konsorsium. Seolah-olah, tidak ada kepercayaan kepada instansi untuk melakukan sendiri secara mandiri proses rekrutmen tersebut sehingga harus melibatkan konsorsium perguruan tinggi. Belum lagi jika diperhitungkan biaya yang diberikan negara ke konsorsium yang nilainya cukup signifikan hanya untuk kepentingan membuat soal dan mengoreksi berkas jawaban TKD.

Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua. Namun, saya yakin, komunikasi terus-menerus antara para pihak akan meminimalkan kesalahpahaman tersebut. Dengan komunikasi yang terus menerus, maka akan terbangun kolaborasi antara government and civil society. Kolaborasi dua pihak ini sangat penting di masa datang, jika kita ingin mengimplementasikan good governance di negara ini.

Bagi Anda yang akan mengikuti ujian, saya yakin Anda akan mempersiapkan diri dengan baik. Hindarkan upaya-upaya untuk melobi atau berbuat curang. Integritas Anda akan seperti apa di masa depan sebagai pegawai negeri akan terbentuk dari mulai proses rekrutmen ini. Yang paling penting,  Anda harus percaya bahwa banyak pegawai negeri yang menjadi pengawas ujian yang memiliki integritas. Upaya menyuap mereka atau menjanjikan memberikan sesuatu kepada mereka akan menjadi perbuatan yang sia-sia.

Kepada para panitia yang menyelenggaran ujian ini beserta pengawas ujian, saya yakin banyak di antara Anda yang memiliki integritas. Mari bersama-sama memperkuat integritas itu. Setiap ada upaya apapun yang akan melanggar proses yang disepakati dalam menjaga integritas harus Anda perhatikan dan ingatkan. Pengabaian terhadap keburukan di depan mata sudah tidak tepat lagi. Saluran bagi Anda untuk menyampaikan informasi pelanggaran sudah semakin banyak. Manfaatkanlah semua saluran tersebut.

Semoga langkah kecil ini akan makin membangun Indonesia yang lebih baik lagi. ***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke