Langsung ke konten utama

Mengendalikan Biaya Perjalanan Dinas Pegawai Negeri

Sumber Foto: http://www.travelinsurancecompares.com/

Dalam minggu ini, marak diangkat topik tentang tingginya biaya perjalanan dinas pegawai negeri. Dalam kondisi anggaran negara yang mayoritas sudah terkuras untuk subsidi, pemerintah harus memeras otak agar bisa berfikir inovatif. Salah satunya, tentu melihat kembali komposisi anggaran pengeluaran. Salah satu yang kini menjadi sorotan adalah perjalanan dinas.

Dari diskusi di media, tampak sekali bahwa pemerintah dan berbagai pakar mulai peduli tentang adanya kebijakan yang salah dalam anggaran pengeluaran pemerintah, baik yang berada pada tingkat pusat maupun yang berada pada tingkat daerah. Sebenarnya, kesalahan kebijakan ini sudah berlangsung lama. Awalnya memang tidak disengaja. Dahulu, tujuannya adalah baik, yaitu ketika kita memasuki era kemerdekaan, kita bisa melihat bahwa ternyata anggaran untuk membiayai gaji pegawai negeri sangat kecil. Pada awalnya, itu tidak menjadi masalah. Sebab, pada awalnya, menjadi pegawai negeri memang didokrin sebagai pengabdian kepada negara. Karena itu, setelah kemerdekaan, sebenarnya tidak banyak orang yang mau menjadi pegawai negeri.

Di masa lalu, menjadi pegawai negeri sudah disadari sejak awal harus bersedia berkorban, sebagai pejuang kemerdekaan. Karena itu, mereka yang menjadi pegawai negeri adalah lebih karena loyalitasnya pada negara, tanpa didukung oleh kompetensi yang memadai. Karena itu, banyak eks pejuang kemerdekaan yang langsung dikaryakan sebagai pegawai negeri. Sebagai contoh, di kantor bea dan cukai, dahulunya banyak diisi pegawai negeri yang merupakan eks tentara pelajar. Bisa dibayangkan sulitnya mengelola para pegawai yang eks tentara pelajar ini. Tidaklah aneh jika di masa lalu masyarakat mengeluhkan kinerja instansi bea dan cukai.

Kemudian, ketika kita memasuki era pembangunan, yaitu era orde baru, pemerintah mulai bergerak untuk berkinerja. Namun, telah disadari bahwa pegawai negeri yang ada di instansi pemerintah mayoritas tidak kompeten. Karena itu, pemerintah secara tidak terbuka mulai memikirkan kebijakan yang tepat. Akhirnya, pemerintah mengambil kebijakan tidak menaikkan gaji pegawai negeri untuk meningkatkan kinerja pegawai. Itulah sebabnya, di masa orde baru pegawai negeri pun dibayar rendah, bahkan di bawah upah minimum regional. Untuk mendorong kinerja, pemerintah mengambil kebijakan bahwa bagi mereka yang kompeten akan melakukan perjalanan dinas. Di sinilah kemudian tampak bahwa kebijakan penganggaran akan terkait dengan kinerja. Mereka yang melakukan perjalanan dinas adalah mereka yang kompeten. Secara tidak langsung mereka akan memperoleh pendapatan tambahan dari perjalanan dinas ini.

Sialnya, pada masa akhir orde baru, menjelang era reformasi, muncul kesalahan implementasi dari kebijakan perjalanan dinas ini. Perjalanan dinas kemudian dimaknai semacam kompensasi tambahan bagi semua pegawai negeri. Selanjutnya, memperoleh pendapatan dari perjalanan dinas dianggap hak setiap pegawai negeri karena gajinya yang rendah. Harus diakui, tanpa tambahan pendapatan dari perjalanan dinas, maka mayoritas pegawai negeri tidak akan survive. Anda bisa menghitung berapa pengeluaran standar pegawai negeri dibandingkan dengan gaji pokoknya (walaupun sudah termasuk tunjangan yang jumlahnya kadang tidak signifikan).

Sekarang, ketika pemerintah sedang kesulitan pendanaan, karena tidak berani membatasi subsidi bahan bakar dan kecenderungan menghindari pinjaman dari donor, pemerintah mulai menggali-gali sumber yang bisa dioptimalkan. Karena itu, perjalanan dinas semakin diperketat. Sebagai contoh, perjalanan dinas yang dahulunya dibayar dalam bentuk uang harian yang cukup memadai dalam bentuk lumpsum hanya untuk kepentingan mengikuti rapat dinas, kini pembiayaan per harinya untuk pegawai negeri yang bekerja di instansi pemerintah pusat sudah sangat kecil dalam bentuk at cost, bahkan sangat tidak memadai, sekitar seratus ribu rupiah saja. Ini tentu tidak berlaku bagi pegawai di pemerintah daerah, di mana kebiasaan lama masih terjadi. Mereka masih menggunakan sistem perjalanan dinas lumpsum. Karena itu, sering kita melihat pegawai negeri yang berasal dari pemerintah daerah masih sangat sering mengadakan rapat-rapat di hotel. Bahkan, sering terjadi pemalsuan dokumen perjalanan dinas oleh pihak-pihak tertentu hanya sekedar untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari biaya perjalanan dinas.

Namun, memang semua kebijakan pemerintah bisa dengan mudah dipermainkan oleh pegawai negeri ketika di lapangan. Walaupun pemerintah pusat sudah menerapkan sistem at cost untuk perjalanan dinas, pada praktiknya masih ada saja yang bisa mengakalinya. Sebagai contoh, biaya hotel dan pesawat dipertanggungjawabkan lebih tinggi dari realitanya. Bisa saja tarif perjalanan dinas dengan pesawat sebenarnya dibayarkan hanya Rp2 juta, tetapi dipertanggungjawabkan sebesar Rp3 juta dengan rekayasa tertentu. Para auditor juga akan kesulitan untuk menelusuri hal ini. Sebab, harga jual dari sebuah maskapai biasanya per penumpang tidak disimpan secara khusus dalam database-nya. Sebab, kadang perusahaan maskapai harus menjual ke agen travel. Ketika pegawai negeri berargumentasi bahwa ia membeli dari agen travel, maka berapa perhitungan harga tiket real yang dibayarkan pegawai negeri tadi akan sulit sekali ditelusuri. Agen travel juga cenderung menghindar untuk menginformasikan ke auditor berapa sebenarnya harga real yang dibayar oleh pegawai negeri tadi karena pertimbangan menjaga hubungan dengan pelanggannya.

Dalam jangka pendek, mengangkat isu tentang borosnya perjalanan dinas pegawai negeri memang akan menjadi pembelajaran yang baik. Para pegawai negeri tentu akan berhati-hati dan cooling down dalam penggunaan anggaran perjalanan dinas. Namun, dalam pandangan saya, jika pemerintah tidak menyelesaikan akar masalahnya, hal ini akan berulang kembali. Artinya, upaya menghindari pemborosan perjalanan dinas hanya akan berjalan sesaat. Belum melekat dan tidak menjadi budaya pegawai negeri.

Salah satu akar masalah, saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi di sebuah media, yaitu banyaknya kegiatan-kegiatan pegawai negeri yang sebenarnya bisa diefisienkan karena sebenarnya tidak perlu. Yang telah diidentifikasi adalah banyaknya pelaporan yang harus disampaikan oleh instansi di bawah kepada instansi di atasnya. Sebagai contoh, sebuah instansi pemerintah daerah harus menyampaikan laporan ke Menteri PAN dan RB, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan menteri teknis terkait. Untuk kepentingan penyusunan laporan inilah perjalanan dan rapat-rapat dinas tersebut diciptakan.

Jika saja pelaporan dari instansi di bawah ke instansi di atasnya dapat diintegrasikan, tentu para pegawai negeri tidak perlu berulang-ulang menyusun laporan yang secara isi sama, di mana sebenarnya hanya format pelaporannya saja yang berbeda. Kegiatan yang berulang-ulang inilah yang mengakibatkan menggelembungnya biaya perjalanan dan rapat dinas pegawai negeri. Belum lagi jika kita membahas tidak adanya integrasi aplikasi-aplikasi dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan, dan supporting system lainnya. Sebagai contoh, ketika kita menyusun anggaran, aplikasinya berbeda dengan aplikasi untuk mengeksekusi anggaran. Akhirnya, pegawai negeri sibuk melakukan pekerjaan berulang, seperti melakukan entri ulang data awal, ke aplikasi lainnya.

Mengingat kegiatan tersebut adalah dalam hubungan kerja dengan instansi di atasnya, tentu atasan sebuah instansi tidak akan dapat menolak usulan perjalanan dinas dari bawahannya. Sebab, bawahannya akan berargumentasi bahwa laporan tersebut dipersyaratkan oleh pemerintah pusat atau instansi di atasnya. Dan ini memang benar-benar kebutuhan real, walaupun sebenarnya tidak stratejik. Karena itu, kebijakan untuk mengatasi permasalahan ini perlu segera dirumuskan oleh pemerintah. Sekedar mengelektronikkan penyampaian laporan dengan email, misalnya, tidak cukup untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kita harus mau berfikir lebih konseptual dan komprehensif, dan menghindari penanganan masalah semacam ini hanya untuk kepentingan popularitas. Penangan masalah seperti ini harus dengan kajian yang mendalam.

Mengintegrasikan sistem pelaporan dari instansi di bawah ke instansi di atasnya pun mudah sekali diucapkan. Dalam realitanya, akan banyak tantangan yang ditemui. Alih-alih ingin mengintegrasikan, biasanya malah menciptakan sistem baru yang membebankan instansi. Sebab, tidak semua instansi mau menjalankan inisiatif pengintegrasian ini karena kepentingan mereka yang mungkin akan terganggu. Untuk itu, untuk mengatasi hal ini, pertama sekali kita harus menyusun framework konseptual integrasi tersebut terlebih dahulu agar semua pihak memiliki visi yang sama untuk kepentingan bangsa. Yang kemudian paling penting adalah pimpinan kementerian/lembaga harus mengutus stafnya yang paling kompeten dan mau berfikir secara terpadu untuk kepentingan nasional, tidak semata-mata kepentingan instansinya, untuk kepentingan pembahasan framework tersebut. Jangan sampai wakil dari kementerian/lembaga malah menjadi agent untuk mengamati proses integrasi tersebut dan memberikan informasi yang salah ke pimpinan kementerian/lembaga. Memilih siapa staf kementerian/lembaga yang akan diutus untuk kepentingan integrasi tersebut tentu cukup sulit. Tapi, saya yakin, masih ada staf kementerian/lembaga yang bisa diandalkan untuk kepentingan tersebut, terutama mereka dari generasi muda, yang mau berfikir untuk kepentingan yang lebih besar.

Akar masalah kedua adalah rendahnya penghasilan pegawai negeri pada beberapa instansi. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer dengan menaikkan penghasilan bulanan pegawai negeri, dengan tingkat penghasilan sebagaimana para profesional yang bekerja di sektor swasta. Kenaikan ini bisa diberikan dalam bentuk remunerasi. Beberapa instansi yang telah menerapkan remunerasi, saya lihat, walaupun tidak seluruhnya, telah mulai menuju pada arah yang tepat. Sumber anggaran untuk menaikkan penghasilan pegawai negeri menurut saya dalam jangka pendek bisa diambil dari penghematan anggaran biaya perjalanan dinas tersebut. Artinya, berani mengalihkan 50% anggaran perjalanan dinas untuk kepentingan menaikkan penghasilan pegawai negeri itu sudah merupakan point tersendiri bagi pemerintah saat ini. Sebanyak 25% anggaran perjalanan dinas bisa dialihkan untuk mengatasi subsidi bahan bakar, sedangkan sisanya sebesar 25% tentu masih diperlukan untuk kepentingan yang bersifat stratejik.

Jika kedua hal ini bisa dijalankan dengan segera, maka saya yakin dalam waktu tidak lama lagi birokrat di instansi pemerintah pusat dan daerah tidak lagi menjadi sumber masalah, tetapi bagian dari pemecahan masalah bangsa ini.

Komentar

Anonim mengatakan…
Dalam pengalaman saya, biaya perjalanan dinas pegawai pemerintah daerah kabupaten di jawa barat khususnya, tidaklah sebesar yang dibayangkan masyarakat. dengan perhitungan at cost sebagai contoh, untuk perjalanan ke ibukota provinsi dengan jarak 80 km, kami hanya mendapat biaya Rp. 91.000,- utk transportasi ditambah Rp. 125.000,- untuk uang harian (makan + biaya lokal/ongkos angkot, dll). jadi tidak ada yg namanya biaya jutaan per hari seperti yg dibayangkan. Mengenai rapat-rapat di hotel, hal tersebut tergantung yang mengundang, jadi tidak selalu dibayar oleh peserta rapat, peserta hanya tinggal datang tanpa harus bayar biaya akomodasi hotel, kecuali kalau dipersyaratkan dalam surat undangannya (dan biasanya rapat seperti ini jarang dihadiri kalau harus bayar hotel). Tetapi di sisi lain, paket seminar/rapat sangat membantu usaha perhotelan. Disaat bisnis hotel lesu, maka layanan seminar/rapat ini menjadi pemasukan yg cukup berarti bagi hotel-hotel nasional. Jadi yg harus dicermati adalah biaya penyelenggaraan rapat itu sendiri, apakah membutuhkan penginapan atau tidak. Apabila di dalam provinsi dan di bawah 6 jam, kiranya tidak diperlukan penginapan dan rapat dapat dilakukan di kantor-kantor pemerintah. Kecuali apabila ada rapat tingkat regional/nasional yg menyebabkan orang harus berangkat dari sabang ke jakarta atau sebaliknya, maka diperlukan penginapan dan transporasi udara/laut yg lebih mahal.

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke