Langsung ke konten utama

Revolusi Pemberantasan Korupsi Telah Memakan Anak Kandungnya Sendiri


Seorang pengamat melihat kini PNS disasar seperti komunis di masa lalu. Menarik juga pengamatannya ini, di mana ternyata ada seorang pengamat yang memahami suasana hati para PNS belakangan ini. Bisa jadi karena pengamat tersebut adalah juga seorang dosen perguruan tinggi negeri. Ia tentu dapat merasakan bagaimana perbedaan suasana di masa sekarang dibandingkan dengan masa lalu.

Di masa lalu, memang PNS itu adalah ibarat untouchable person. Tidak bisa dipecat. Nyaman. Berada pada comfort zone. Dengan kinerja yang tidak jelas. Menjengkelkan. Mereka selalu menjadi keluhan warga masyarakat. Yang dimaksud di sini, tentu tidak hanya warga masyarakat umum. Bahkan, seorang PNS yang sedang menjadi warga masyarakat pun sering mengeluhkan kinerja PNS lain ketika ia sedang berurusan dengan administrasi publik. Dari mulai urusan perijinan sederhana, membuat KTP, mengurus surat tanah, sampai urusan ke layanan penguburan, banyak warga masyarakat yang mengeluhkan cara kerja PNS.

Mereka para PNS sering sekarang dianggap sampah masyarakat, yang tidak bedanya dengan preman, atau bahkan terkesan semua PNS adalah koruptor. Kini, kalau ada PNS yang memiliki kekayaan sedikit menyolok saja, maka PPATK langsung mengangkatnya menjadi isu yang menarik. Bahkan, Ketua PPATK memberikan wawancara khusus untuk menjelaskan modus money laundering para PNS.  Seolah-olah, ia adalah orang yang sangat ahli di bidang itu. Walaupun, bisa jadi data yang dianalisis PPATK adalah salah. Karena itu, seorang PNS yang dipermasalahkan kekayaannya sampai-sampai harus memperjelas perhitungan teknis angka-angka rekening tabungannya.

Saya setuju dengan beberapa argumentasi banyak pihak, perlunya memperjelas tentang boleh tidaknya PNS berbisnis. Namun, di kantor, saya sering bercerita, itulah masalah hukum kita. Kita sering menganggap bahwa regulasi kita sudah bagus, tetapi hanya penerapannya saja yang sering bermasalah. Saya tidak setuju dengan argumentasi ini. Menurut saya, masih banyak hal yang harus dibahas dari segi regulasi. Karena itulah, kenapa pengetahuan dan diskusi hukum terus dikembangkan.

Contohnya saja, regulasi bisnis PNS, atau tentang conflict of interest. Sejak dulu kita sering menghindar untuk memperdebatkan hal ini. Karena itu, dianggap lazim saja seorang PNS berbisnis untuk menutupi gaji yang rendah. Ketika mereka mendapat remunerasi, dan kebetulan juga telah menumpuk kekayaan dari bisnisnya, barulah muncul masalah baru. Seolah-olah, kekayaannya dari money laundering. Akhirnya, sungguh merepotkan.

Kalau kita ingin mencari kesalahan seseorang, sebenarnya itu mudah saja. Tidak ada manusia yang tidak diluputi kesalahan. Karena itu, benarlah yang dikatakan pengamat tadi, PNS sekarang itu dalam posisi terjepit. Apalagi mereka yang bekerja di urusan perpajakan. Selama ini, kekayaan PNS yang bekerja di sana dianggap bombastis, tetapi tabu untuk didiskusikan. Dianggap tahu sama tahu. Bahkan, para saudara atau tetangganya pun banyak yang memuja-muja mereka karena bersedia memberikan sumbangan yang besar pada acara-acara tertentu. Kini, ketika upaya pemberantasan korupsi bergerak, mereka menjadi objek yang menarik untuk mengangkat popularitas pihak-pihak tertentu.

Saya setuju, pemberantasan korupsi harus terus berjalan. Namun, benar juga, upaya tersebut jangan menimbulkan kesan bahwa PNS kini seolah-olah menjadi target operasi. Bagaimana pun, mereka adalah mesin birokrasi yang bekerja mengelola negara. Tanpa PNS yang handal, pengelolaan negara dapat terganggu. Karena itu, jalankanlah penegakan hukum, tanpa tendensi tertentu. Yang salah segera diproses. Jangan sampai revolusi pemberantasan korupsi memakan anak kandungnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke