Langsung ke konten utama

[eKTP] Skandal e-KTP Gamawan Fauzi: Persekongkolan Proyek Rp 5,8 Triliun

Kamis, 15/09/2011 15:24 WIB

Skandal e-KTP Gamawan Fauzi

Persekongkolan Proyek Rp 5,8 Triliun

Deden Gunawan - detikNews

Jakarta - Baru saja dimulai, proyek KTP Elektronik (e-KTP) sudah menuai kontroversi. Bau korupsi meruyap dari proyek yang digagas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini. Negara ditaksir merugi hingga Rp 1 triliun.

Korupsi dalam proyek senilai Rp 5,8 triliun terjadi dalam proses lelang. Ada indikasi kuat, selama proses lelang terjadi persekongkolan agar tender dimenangkan konsorsium PT Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).

Dugaan persekongkolan itu dilaporkan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), salah satu peserta tender yang kalah, ke panitia lelang e-KTP ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Proses lelang proyek e-KTP berlangsung pada 21 Februari- 1 Maret 2011. Saat itu ada 9 konsorsium yang ikut tender, yakni PNRI, Astra Grafia, Telkom, Berca, Peruri, Murakabi, Mega Global, Transtel, dan I-Forte.

Saat prakualifikasi yang digelar 5- 14 Maret, satu konsorsium, I-Forte tidak lolos karena dianggap tidak punya kapasitas di bidang tersebut.
Lantas pada tahap evaluasi kesesuaian metodologi dan spesifikasi teknis jumlah konsorsium yang lolos semakin mengerucut menjadi 3, yakni PNRI, Astra, dan Mega Global.

Sementara 5 konsorsium lainnya digugurkan dengan berbagai alasan. Misalnya, konsorsium Lintas Peruri tidak lolos dengan alasan tidak tersedianya power supply di produk HSM safenet. Sementara Telkom gugur lantaran produk yang ditawarkan dianggap tidak sesuai. Dari tiga yang lolos akhirnya pemenang tender diputuskan jatuh pada PNRI.
Lintas Peruri merasa aneh konsorsium PNRI memenangkan tender padahal harga yang ditawarkan konsorsium itu lebih mahal dan produk mereka tidak memiliki ISO.

"PNRI dan Astra justru tidak memiliki ISO 9001 dan ISO 14001," ujar Handika, kuasa hukum konsorsium Lintas Peruri saat berbincang-bincang dengan detik+.

Tidak lolosnya Lintas Peruri bagi Handika juga janggal. Pasalnya, Karsa Wira Utama, perusahaan yang tergabung dalan Lintas Peruri justru sudah berpengalaman dalam proyek e-KTP.

Karsa sebelumnya menangani uji petik e-KTP pada 2009 di enam kota dan kabupaten. Proyek yang dilakukan di Cirebon, Denpasar, Buleleng, Yogyakarta, Padang itu, berjalan sukses.

Saat itu Karsa Wira Utama menyingkirkan Astra dan PNRI dalam tender proyek yang punya pagu anggaran sebesar Rp 15 miliar tersebut. Tapi ketika Karsa bergabung dalam konsorsium Lintas Peruri, spek yang ditawarkan saat lelang e-KTP skala nasional justru tidak lolos. Padahal spek yang ditawarkan sama seperti yang digunakan saat uji petik e-KTP pada 2009, yakni menggunakan produk dermalog untuk AFIS-nya.

Harga yang ditawarkan Peruri juga lebih murah yakni Rp 4,7 triliun. Sementara PNRI Rp 5,8 triliun dan Astra Rp 5,9 triliun. “Tapi kenapa harga yang mahal yang diloloskan. Apalagi spek yang mereka tawarkan belum teruji dan tidak memiliki ISO 9001 dan 14001," kritik Handika.

Dugaan persekongkolan alam tender e-KTP juga diperkuat oleh Government Watch (Gowa). LSM ini d telah melakukan ivestigasi proyek e-KTP sejak Maret - Agustus 2011. Gowa pun sudah melaporkan dugaan korupsi proyek ini ke KPK.

Audit forensik GOWA menemukan 11 penyimpangan, pelanggaran, dan kejanggalan yang kasat mata. Ada tiga tahapan klasifikasi fakta penyimpangan selama proses pelaksanaan pengadaan e-KTP. Tahapan itu mulai dari sebelum (lelang), pelaksanaan lelang, dan pelaksanaan pekerjaan.

“Indikasi itu tercium kuat dengan adanya pengaturan agar lelang e-KTP dimenangkan konsorsium PNRI,” kata Direktur Eksekutif GOWA, Andi W Syahputra kepada detik+

Salah satu indikasi adanya persekongkolan itu yakni adanya koordinasi baik melalui pertemuan ataupun korespondensi sebelum pemenang tender dimenangkan.

Pada 1 Juli 2010 antara tim teknis proyek e-KTP, Husni Fahmi, Kepala Subdit Pengelolaan Data Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri RI dan Tri Sampurno selaku Ketua Kelompok Infrastruktur dan Data Centre di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Dari bukti yang dimiliki Gowa, kedua pejabat itu melakukan pertemuan dengan beberapa pengusaha yang tergabung pada Konsorsium PNRI, seperti Direktur Utama PNRI Isnu Edhi Wijaya, Direktur Utama PT. Biocard Tech (pemegang keagenan/supplier AFIS (automated Finger Frint Identification System) merek L1, Johannes Marliem, dan beberapa lainnya yang tidak dikenal.

Materi dalam pertemuan antara lain adalah guna membahas struktur organisasi, time schedule dan pembentukan tim kerja KTP Nasional.
Selain itu ditemukan juga fakta berupa transkip korespondensi lewat email antara konsorsium PNRI dengan Konsorsium Astra Graphia dan Konsorsium Murakabi ihwal rencana pertemuan untuk pengkondisian bagi pematangan dokumen Rencana Kerja Satuan (RKS) agar sejalan dan selaras dengan spesifikasi yang mengarah pada produk merek L-1.

Dari dokumen lelang e-KTP yang dimiliki detik+ memang tertera para pemenang lelang, yakni Konsorsium PNRI dan Astra Grafia (pemenang 2), sama-sama menyodorkan produk L-1 untuk teknologi AFIS nya. Sementara konsorsium yang lain menggunakan Inovatrik, Dermalog, dan Morpho.

Kecurigaan adanya kongkalikong dalam proses tender ini juga terlihat dalam proses penetapan lelang. Pasalnya dalam penetapan pemenang lelang terhadap PNRI dan Astra, beberapa konsorsium yang gugur sedang melakukan proses sanggah banding.

Menurut Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010, di Pasal 82 dijelaskan, jika peserta tender sedang melakukan sanggah banding maka proses pelelangan dihentikan.

Tapi kenyataanya, ketika proses sanggah banding yang dilakukan konsorsium Lintas Peruri dan Telkom sedang berjalan, panitia lelang menandatangani kontrak dengan pemenang tender pada 1 Juli 2011.
Sementara berdasarkan Perpres No 54 Tahun 2011 seharusnya, masa sanggah banding berlaku tanggal 29 juni- 5 Juli. Dan saat itu konsorsium Telkom yang mengajukan sanggah banding baru dapat jawaban pada 11 Juli.

"Ini kami anggap sebuah kecurangan. Kami jelas rugi 2 kali. Kami dikalahkan tidak wajar dan uang jaminan sanggah banding Rp 50 juta digelapkan oleh panitia lelang," jelas Handika.

Karena merasa dipermainkan, Lintas Peruri akan melaporkan panitia lelang e-KTP Sudrajat ke Mabes Polri. Tuduhannya berupa penggelapan yang dilakukan panitia lelang terhadap uang jaminan dari konsorsium untuk sanggah banding sebesar Rp 50 juta.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi membantah dan menyatakan proyek E-KTP bersih. Menurut peraih Bung Hatta Award itu, tidak ada skandal dalam proyek e-KTP. Ia justru mensinyalir ada mafia yang ingin menggagalkan mega proyek tersebut.

“Saya harus lawan karena saya tidak mau negara diatur mafia-mafia.Jabatan bagi saya nomor dua. Kalaupun saya harus berkorban, tidak apaapa. Saya sudah 30 tahun di birokrasi membangun integritas, dengan pangkat tertinggi IVE. Saya tahu mafia (e-KTP), tapi saya tidak mau sebutkan siapa itu,” kata Gamawan.
Pejabat Kemendagri lainnya juga memberikan hak jawab atas proyek.
(iy/nrl)

Komentar

Unknown mengatakan…
waah,,, E-KTP saja di korupsi
dah gawat kita ini

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke