Langsung ke konten utama

Rumitnya Menangkap Pelaku Penyuapan

Setelah penangkapan anggota dan mantan anggota DPR yang diduga terlibat penyuapan dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom, banyak pihak terheran-heran, mengapa pelaku penyuapannya sendiri itu tidak ditangkap?

Saya rasa, penjelasannya sederhana saja. KPK hanya bisa menangkap seseorang jika terkait dengan tindak pidana korupsi. Seorang penyelenggara negara yang menerima pemberian karena jabatannya (suap), menurut Undang-Undang, diwajibkan untuk melaporkannya ke KPK. Itu dianggap sebagai gratifikasi. Jika seseorang tadi tidak melaporkan gratifikasi, maka ia bisa dipidana korupsi. Artinya, dalam hal penyelenggara negara menerima suap, ia tidak hanya bisa dikenakan tindak pidana umum penyuapan, tetapi juga tindak pidana khusus korupsi.

Masalahnya, jika seseorang itu melakukan penyuapan, apakah itu bisa dikenakan tindak pidana korupsi? Tentu tidak semudah itu. Ia mestinya dikenakan tindak pidana umum penyuapan yang wilayah kewenangannya awalnya berada di kepolisian. Yang repot dalam kasus Miranda ini adalah tampaknya Miranda tidak melakukan penyuapan secara langsung, tetapi melewati Nunun yang sekarang tidak pernah diperiksa KPK. Pasal apakah yang lebih diterapkan kepada Miranda? Pasal menyuap anggota DPR atau pasal menerima suap dari Nunun? Atau pasal menjadi motivator Nunun menyuap anggota Dewan? Adakah sanksi pidana tindak pidana korupsi untuk pihak yang menjadi motivator? Bagaimana kalau Miranda ternyata tidak mengakui ada maksud tertentu untuk melakukan penyuapan dan ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak menyuap secara langsung? Toch, tidak ada bukti Miranda pernah membawa uang langsung ke anggota DPR, kan?

Jika dilihat dari beberapa statement KPK, mereka sebenarnya sudah mengharapkan agar kepolisian segera menangkap pihak yang memberikan suap. Hanya saja, kepolisian mungkin kesulitan dalam menangkap pelaku penyuapan. Sebab, sesuai dengan praktik yang berlaku, pelaku penyuapan bisa ditangkap jika telah ada pelaku yang menerima suap. Mungkin kepolisian sendiri sedang menunggu proses di peradilan. Jika KPK berhasil membuktikan adanya pelaku penyuapan, barulah kepolisian akan menangkap pelaku penyuapan. Itulah kompleksnya proses hukum kita.

Anda punya pendapat lain? Silahkan posting di sini.

Bintaro Jaya, 6 Februari 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke