Langsung ke konten utama

Penggunaan SmartPhone dan Penghematan Bahan Bakar Nasional

Ada tulisan dari Pak Sumitro yang diposting di beberapa milis, mantan direksi di PT Pos Indonesia yang sekarang aktif di Mastel. Idenya adalah bagaimana agar beberapa organisasi memperkenankan pegawainya bekerja di rumah 1 – 2 hari. Untuk memantau hasil kerjanya, dapat digunakan SmartPhone. Ide ini sebenarnya sudah banyak diimplementasikan di negara maju. Mengimplementasikannya di Indonesia, tentu masih banyak perdebatannya. Silahkan ditanggapi untuk menuju Indonesia yang lebih baik ke depan.

-------------------------------------------------------------------------------------------

Masyarakat Indonesia memang sangat trendy, gadget yang baru muncul pasti diserbu oleh masyarakat Indonesia yang ingin tampil lebih dibandingkan yang lainnya. Ini sudah terbukti sejak awal tahun 1990-an, dimana Indonesia menjadi pengguna Nokia Communicator 9000 terbesar didunia yang saat itu menjadi simbol status bagi pemiliknya.

Di tahun 2010 ini memang lebih banyak pilihan bagi masyarakat, mulai dari iPhone 4GS, iPad, BlackBerry sampai berbagai model smartphone terbaru berbasiskan Operating System Android, seperti Samsung Galaxy Tab, Motorola Nexus One, dan lain-lainnya.
Apple iPad memang saat ini menjadi simbol status yang tertinggi, mulai dari Presiden SBY, Menteri, dan Direksi BUMN dan Swasta, pejabat Pemerintahberlomba-lomba untuk dapat menampilkan kesan bukan Gaptek kalau ditiap pidato dan sambutannya selalu didampingi oleh iPad, bak buku catatan elektroniknya. Harganya-pun selangit, sekitar Rp 14-jutaan.

Bagi yang lainnya, BlackBerry menjadi pilihannya, sebab selain trendy, benda itupun sangat bermanfaat bagi para pebisnis yang sangat sibuk, sebab dapat membuatnya tak lepas dari urusan bisnisnya melalui email, BBM dan SMS, yang dapat mereka pantau dan jawab secara efektif dan efisien. Keunggulan utama dari BlackBerry adalah kemampuan Push Mail-nya yang canggih, karena disediakan melalui Server khusus dan dengan sistem transmisi yang dikompressi, sehingga membuatnya mampu menembus saluran komunikasi data yang berkecepatan rendah (GPRS) dan kondisi yang buruk. Berbeda dengan Apple iPad, iPhone dan Android, yang menjadi kurang berguna kalau kecepatan transmisnya turun dibawah 3G.

Itulah sebabnya maka BlackBerry menjadi pilihan banyak masyarakat Indonesia, mulai dari karyawan biasa, manajer, maupun para Direksi perusahaan, sebab harganya yang variatif dan cukup murah untuk versi yang GPRS/EDGE.

Bangsa ini akan dapat meraih manfaat dari tren meningkatnya penggunaan smartphone BlackBerry, yang pada tahun 2010 ini melonjak 140% dari tahun sebelumnya. Jumlah pelanggan BlackBerry TELKOMSEL saat ini mencapai yang tertinggi diantara para operator lainnya, yaitu 960.000 orang.

Ditengah ancaman dikuranginya supply Bensin Premium mulai 1 Januari 2010, sehingga masyarakat Indonesia harus meningkatkan biaya transportasi ke/dari kantor, makin macetnya laululintas di Jakarat dan kota-kota besar lainnya pada jam kantor, maka saya ingin mengusulkan kepada para Pimpinan Institusi danPerusahaan-perusahan BUMN dan Swasta, agar memperbolehkan para karyawan yang memiliki smartphone BlackBerry untuk bekerja dari rumah untuk1-2 hari dalam seminggu, asalkan pekerjaan yang harus diselesaikan masing-masing dapat selesai tiap akhir hari hari kerja.

Kalau hal ini dilaksanakan secara Nasional, maka dampak penghematan Bahan Bakar, efisiensi kerja dan pengurangan kemacetan lalulintas menjadi sangat besar dan secara nasional meningkatkan produktivitas nasional bangsa Indonesia, dan tren kesukaan masyarakat Indonesia memanfaatkan gadget terbaru menjadi tidak mubazir.


Silahkan ditanggapi dan diberikan dukungan dan pelaksanaannya di kantor masing-masing.


Semoga bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara.
Wassalam,
S Roestam
http://wirelesstekno.blogspot.com
http://wartamastel.blogspot.com
http://wartaduniamaya.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke