Langsung ke konten utama

Kepemimpinan dan Reformasi

Pada proses reformasi, sering terjadi keluhan tentang rendahnya dukungan kepemimpinan dalam proses reformasi. Terkait dengan itu, banyak pihak beranggapan bahwa reformasi di Indonesia seperti berjalan di tempat karena tidak jelas dan kurangnya kepemimpinan dari presiden saat ini. Terkesan bahwa, jika ingin berhasil, suatu perubahan sangat tergantung atau menggantungkan diri kepada kapasitas kepemimpinan seorang presiden. Benarkah demikian? Apakah dengan kepemimpinan presiden yang kuat maka reformasi akan berhasil?

Saya tidak setuju sepenuhnya dengan argumentasi tersebut. Argumentasi saya, jika kita terlalu menggantungkan diri kepada kepemimpinan seorang presiden, maka kita akan malas dan cenderung berfikir lebih baik tidak melakukan apapun sampai dengan dipilihnya presiden yang kuat dalam hal kepemimpinan reformasi. Sampai kapan kita harus menunggu agar diperoleh presiden dengan kepemimpinan yang kuat? Apakah tahun 2014 akan merupakan tahun menjanjikan untuk itu?

Argumentasi kedua, apakah jika nantinya sudah diperoleh presiden dengan kepemimpinan yang kuat lantas proses reformasi akan dijamin pasti berhasil? Tentu tidak. Sebab, kepemimpinan yang kuat dari seorang presiden hanyalah salah satu prasyarat berhasilnya reformasi.

Jika kita mengambil pelajaran dari Korea Selatan -- yang pemimpinnya baru saja berkunjung ke Indonesia -- kepemimpinan reformasi di sana dapat dibagi dalam 3 layer, yaitu kepemimpinan di tingkat politik, kepemimpinan di tingkat nasional, dan kepemimpinan di tingkat kementerian/lembaga/pemerintah daerah.

Kepemimpinan di tingkat politik dipimpin langsung oleh presiden dan perdana menteri. Kepemimpinan tingkat nasional dilakukan oleh sebuah komite yang diketuai secara bersama antara wakil pemerintah dan wakil masyarakat sipil. Kepimpinan di lingkup kementerian/lembaga/pemerintah daerah dipimpin oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Ketiga pihak ini melakukan kerja-sama yang baik untuk mencapai tujuan bersama reformasi, yaitu bagaimana organisasi publik bisa menjadi kompetitif, negaranya bisa melalui krisis ekonomi, dan masyarakatnya menjadi sejahtera.

Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, bisa dikatakan bahwa kepemimpinan layer pertama adalah dilakukan oleh presiden dan wakil presiden. Kemudian, kepemimpinan layer kedua dilakukan oleh Komite Pengarah Reformasi (Birokrasi) Nasional yang juga dipimpin oleh wakil presiden dengan anggotanya beberapa menteri. Komite Pengarah ini juga didampingi oleh Tim Independen yang anggotanya umumnya dari akademisi dan sektor swasta serta Tim Quality Assurance yang anggotanya dari sektor publik dan swasta. Tim Independen saat ini dipimpin oleh Erry Riyana yang juga adalah mantan anggota KPK, sedangkan Tim Quality Assurance dipimpin oleh Prof. Mardiasmo yang juga adalah Kepala BPKP. Pada layer ketiga, tentu sama dengan Korea Selatan, yaitu menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/kepala daerah.

Dengan demikian, sebenarnya prasyarat dari diperlukannya kepemimpinan reformasi memang sudah tersedia di Indonesia. Pertanyaannya kemudian, tentu saja, kenapa kita sebagai warga masyarakat belum merasakan hasil yang signifikan dari proses reformasi tersebut? Seolah-olah buah reformasi hanyalah bahasa di atas kertas, suatu karya yang bersifat klise, dengan keluhan tentang slogan-slogan untuk pencitraan kepemimpinan yang terlalu banyak.

Dalam sebuah diskusi muncul pendapat bahwa salah satu sebab belum jalannya reformasi di Indonesia adalah tidak adanya pihak yang bekerja secara full-time untuk kepentingan reformasi. Para pakar dalam diskusi tersebut menyarankan agar Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi segera diperankan sebagai Sekretariat Komite Reformasi Nasional dan bekerja secara full-time hanya untuk kepentingan reformasi, tanpa dibebani oleh tugas lain yang tidak berhubungan dengan reformasi birokrasi.

Saya setuju dengan argumentasi pakar pada diskusi tersebut. Namun, yang saya rasa juga penting adalah adanya insentif untuk melakukan reformasi. Di Korea Selatan, keberhasilan reformasi suatu organisasi akan dihubungkan langsung dengan penganggaran. Artinya, adalah memungkinkan diberikan insentif penambahan anggaran dan kesejahteraan bila suatu organisasi berhasil melakukan reformasi.

Saya melihat, saat ini umumnya pegawai publik (yang organisasinya belum memperoleh remunerasi) terlalu disibukkan dengan aktivitas tambahan agar bisa survive untuk mengatasi living cost sehari-hari. Kita sering mendengar istilah “ngamen” untuk pegawai publik pada eselon puncak yang sering mondar-mandir ke sana-sini hanya untuk mendapatkan honor nara-sumber dan uang harian perjalanan dinas. Akhirnya, mereka tidak sempat lagi mengurus tugas utamanya. Apalagi jika disuruh untuk menjalankan program reformasi.

Kedua, ketiga layer kepemimpinan itu harus mau saling bekerja-sama untuk kepentingan nasional dan tidak malah mengutamakan egonya masing-masing. Kerja-sama ini sangat penting karena hambatan reformasi biasanya datang dari para oposan yang tidak ingin reformasi berjalan dengan baik, karena akan mengganggu vested interest pihak tertentu.

Ketiga, yang juga sangat penting, dan ini juga disetujui banyak pakar, adalah hubungan dengan media yang kuat. Hal ini penting sebab tantangan reformasi saat ini di Indonesia ternyata lebih banyak datang dari politisi. Saat ini kita bisa melihat bahwa para politisi yang “bercokol” di DPR dan DPRD, dan bahkan para staf khusus di kementerian/lembaga/pemerintah daerah, sebenarnya kebanyakan bukan mereka yang dulunya pro-reformasi. Mereka adalah hasil produk dari Orde Baru dan Orde Lama yang bermetamorfosis dengan nama partai baru yang seolah-olah pro-perubahan dan reformasi.

Seorang pakar menyarankan agar para anggota pemerintahan yang memimpin reformasi sudah sejak awal mengajak media untuk memahami program reformasi yang ada di organisasinya. Dengan demikian, media mengerti rencana pemerintah sejak dini. Ini akan membantu pemerintah ketika nantinya membawa rencana ini ke parlemen untuk disetujui.

Jika nantinya parlemen yang memiliki vested interest dan adalah kebanyakan  “musuh” reformasi tidak menyetujui rencana tersebut, maka media dan masyarakat sipillah yang akan membelanya. Dengan demikian, pemerintah tidak akan kelelahan menghadapi tekanan dari vested interest yang tidak setuju dengan program reformasi. Saran ini saya rasa perlu dipertimbangkan oleh pemerintahan saat ini. 

*) Penulis adalah Kepala Bidang Pengembangan Sistem Informasi, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, peserta High Level Officer Workshop on Bureaucratic Reform di Seoul, Korea Selatan, 3 – 11 Desember 2010. Pandangan yang dikemukakan pada tulisan ini merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili organisasi di mana tempat penulis bekerja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke