Langsung ke konten utama

Sebuah Catatan Memimpin Perubahan

Pemerintahan SBY Periode Kedua telah memasuki tahun kedua. Banyak kritik yang masuk dari masyarakat. Sebuah diskusi di stasiun televisi tentang apa yang sudah dilakukan dan apa yang belum dilakukan pemerintahan saat ini sangat menarik untuk diikuti. Ada juga sebuah penelitian yang baru di-release yang menceritakan harapan masyarakat agar Wapres Budiono mau berperan seperti JK, mengisi keterbatasan--kalau tidak mau disebut kekurangan--SBY.

Banyak argumentasi yang menyatakan bahwa perekonomian kita tidak berubah banyak. Orang-orang miskin masih mudah ditemui. Sulitnya untuk mendapatkan pekerjaan dan nafkah oleh masyarakat tertentu masih sering dirasakan. Walaupun, dengan indikator kurs valas yang semakin menguat, indikator semacam ini tampak menjadi bertolak-belakang. Seakan-akan, kita sudah semakin baik dengan kurs mata uang rupiah yang semakin menguat terhadap dollar.

Rasa frustasi di kalangan birokrasi juga semakin tampak. Setiap saya mengikuti pertemuan, cerita-cerita tentang pesimisme masa depan selalu saya dengar. Dari mulai tidak beraninya melakukan pengadaan, karena pimpinan instansi yang tidak berani mengambil risiko, sampai proses pemilihan eselon I yang berlarut-larut. Ada juga saya dengar beberapa Keppres sudah diteken, tetapi tidak jadi disampaikan kepada yang bersangkutan, karena pertimbangan tertentu. Misalnya, seperti kasus Anggito (yang masih perlu dikonfirmasi lagi tentunya).

Maklum saja, dahulu semua proses dengan mudahnya bisa di-bypass jika tidak sesuai dengan keinginan pihak tertentu. Masa lalu adalah masa tanpa good governance. Ketika akhirnya kita harus menjalankan good governance, dengan tekanan dari masyarakat yang semakin cerdas, ternyata banyak yang tidak kuat untuk bertahan. Banyak cara untuk menolak good governance tersebut, dari mulai berusaha melobi pihak tertentu, sampai dengan tidak melakukan apa-apa dengan alasan takut jadi sasaran penegak hukum.

Yang membedakan dengan pemerintahan periode sebelumnya, memang adalah di figur JK. Di masa SBY-JK, terasa sekali setiap ada hambatan pembangunan, JK dengan gayanya, berani pasang badan. Walaupun akhirnya tetap tercium aroma tidak sedap, di mana seolah-olah itu semua adalah untuk kepentingan kaum pebisnis, di mana JK termasuk di dalamnya.

Dalam era good governance, kekuasaan sudah semakin tersebar. Tidak hanya dalam tingkatan tertinggi di pemerintahan, di mana presiden sebenarnya sudah berbagai kekuasaan sangat signifikan dengan DPR, tetapi juga dalam lingkup paling rendah di pemerintah daerah. Karena itu, jika negara ini akan berjalan menuju yang lebih baik, peningkatan good governance tidak hanya perlu ditanamkan ke tingkat pemerintahan, tetapi juga anggota parlemen, yang juga bagian dari penyelenggara negara, dan tentunya masyarakat itu sendiri (civil society). Merekalah tiga pilar good governance jika ingin dijalankan. Satu tonggak lemah, maka lemahlah upaya implementasi good governance itu sendiri.

Memang, tahun ini adalah tahun berat bagi semua pihak. Tahun awal di mana pemerintahan baru dibentuk bukanlah hal aneh jika banyak hal yang belum bisa bergerak. Masing-masing masih sungkan untuk menjalankan perannya. Salah-salah, bisa terkena reshuffle di tingkat menteri atau pejabat level bawah.

Tahun ini saya melihat banyak proyek pemerintah yang tidak berjalan optimal. Bahkan, cenderung pengadaan barang/jasa pemerintah, yang merupakan salah satu penggerak perekonomian nasional, tampak kurang bisa berperan. Jelas saja, secara ekonomi mikro akan banyak karyawan swasta yang akan terkena dampaknya, terutama para sales yang langsung berhubungan dengan customer.

Teman saya seorang sales yang biasa berhubungan dengan proyek-proyek TI sangat merasakan itu. Saking frustasinya, ia pun bingung entah apa lagi yang harus dilakukan. Setelah munculnya kasus TI adminduk, yang secara rutin prosesnya di-release di website Kejagung, banyak pihak yang semakin hati-hati untuk menjalankan proyek TI dan bahkan cenderung menghindarinya.

Namun, saya bilang ke dia, kita perlu bersabar. Tentu biasa dalam sebuah kehidupan, kadang-kadang kita perlu berada di titik nol. Dengan ini, kita akan bisa merefleksikan apa saja yang kita lakukan selama ini. Tidak hanya melakukan business as usual. Tentu saja kita berharap semua pihak bisa melakukan introspeksi. Tidak lagi melakukan pengadaan TI sekedarnya hanya untuk mengejar jumlah kick-back yang akan kita terima.

Teman saya itu kurang percaya dengan yang saya sampaikan. Dia masih menganggap, situasi saat ini hanyalah proses tiarap untuk sementara waktu. Ketika "keran" dibuka, semua akan kembali ke habitat normalnya, business as usual. Walaupun begitu, saya tetap percaya dan optimis bahwa kita semua akan mau menjalankan good governance dengan baik di masa datang, bukan memikirkan kepentingan sesaat.

Dengan mulai dijalankannya inisiatif remunerasi di beberapa kementerian/lembaga, saya yakin itu akan menjadi motivasi banyak pihak. Percayalah, ketika kita ikhlas dalam mencapai sesuatu, jalan pasti akan selalu dibukakan dari Yang Maha Mengarahkan. Kita pasti akan menuju perubahan yang lebih baik lagi.

Pramuka, 21 Oktober 2010, di tengah hujan yang turut dengan lebat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke