Langsung ke konten utama

Mengefektifkan Bisnis Konsultan TI di Sektor Publik: Sebuah Pemikiran

Pada artikel sebelumnya (21/10), saya menguraikan betapa sulitnya tahun 2010 ini bagi mereka yang berbisnis di bidang teknologi informasi. Umumnya, proyek-proyek teknologi informasi di sektor publik, sebagai salah satu penggerak ekonomi, menjadi andalan mereka. Apalagi, belakangan ini pengadaan teknologi informasi adalah hal penting dalam proses penataan pelayanan publik. Hampir-hampir tidak ada instansi pemerintah yang tidak mengadakan teknologi informasi untuk kepentingan bisnisnya, walaupun dengan skala ekonomi yang beragam. Hal ini juga didorong oleh gencarnya promosi e-government dari penggerak teknologi informasi.

Bagi mereka yang bisnisnya tidak tergantung proyek-proyek pemerintah, tentu tidak terlalu masalah. Mereka bisa mengambil income dari pasar retail. Hanya jumlahnya masih tidak terlalu besar. Sebab, pada negara berkembang seperti Indonesia, ekspansi perekonomian tentu masih sangat dipengaruhi oleh belanja pemerintah. Apalagi jika di daerah yang baru dibentuk hasil dari pemekaran wilayah. Biasanya para vendor setempat akan sangat tergantung pada rencana belanja instansi pemerintah setempat.

Namun, sebenarnya pada tahun ini masih ada bisnis menjanjikan bagi mereka yang berbisnis di dunia teknologi informasi. Dalam pengamatan saya, tahun ini banyak sekali instansi pemerintah yang menggunakan konsultan untuk merencanakan dan merancang bagaimana teknologi informasi suatu instansi pemerintah ke depannya. Artinya, mereka para konsultan ini sangat dibutuhkan untuk merencanakan apa-apa saja yang perlu diadakan oleh instansi pemerintah dalam 3-5 tahun ke depan, tidak hanya dalam hal hardware, tetapi juga application software dan system software, bahkan pengembangan SDM di instansi tersebut.

Dalam pengamatan saya, kebutuhan tenaga konsultan ini demikian besarnya. Tentu menjadi pertanyaan, apa yang menyebabkan hal tersebut? Menurut saya, hal itu dipengaruhi oleh proses governance di negara kita. Saya percaya bahwa faktor pendorong utama adalah kecenderungan negara kita menuju good governance.

Di masa lalu, kebutuhan konsultan ini tidak tampak. Walaupun memang banyak pengadaan jasa konsultan, saya melihat bahwa mereka sebenarnya tidak difungsikan dengan baik. Kecenderungannya, mereka hanya dipakai untuk kepentingan formalitas pertanggungjawaban. Dalam bahasa praktik disebut “pinjam bendera”. Kemudian, yang merencanakan dan merancang teknologi informasi dikerjakan oleh pihak internal instansi pemerintah, yaitu para pegawainya. Tentu bisa dibayangkan bagaimana kualitas rencana dan rancangan tersebut. Umumnya tidak lebih dari daftar belanja infrastruktur teknologi informasi, kalau tidak mau kita bilang hanya sekedar belanja personal computer dan notebook, yang akhirnya sering menjadi isu sensitif di media massa.

Sayangnya, setelah memasuki era good governance, kebutuhan tenaga konsultan ini tidak diimbangi oleh sisi supply. Umumnya, saya lihat kualitas konsultan kita dalam bidang teknologi informasi sangat terbatas. Memang telah banyak dari mereka yang memiliki gelar master atau doktor di bidang yang terkait dengan teknologi informasi. Hanya saja, penguasaan terhadap permasalahan dan “ruh” dari instansi pemerintah, atau sektor publik, sangat terbatas. Akhirnya, rekomendasi yang ditawarkan dalam sebuah rencana atau rancangan menjadi tidak bisa diimplementasikan.

Tentu saja para konsultan akan berargumentasi bahwa hal tersebut karena ketidaksiapan para penggunanya di sisi instansi pemerintah. Namun, menurut pengamatan saya, para konsultan ini kurang mampu berkomunikasi dengan pihak-pihak di internal instansi pemerintah. Mereka umumnya tidak paham “internal politics” yang sering membentuk bagaimana sebuah proses bisnis instansi pemerintah dioperasikan. Akhirnya, permasalahan yang ditangkap oleh konsultan menjadi tidak sesuai dengan kenyataannya. Dalam bahasa Gus Dur, mantan presiden kita, istilahnya, sebuah permasalahan sering “diplintir”.

Sebab, sering terjadi bahwa para pihak di instansi pemerintah hanya menyampaikan hal-hal yang baik ke konsultan. Mereka enggan menyampaikan permasalahan yang ada atau permasalahan ke depan karena informasi tersebut dapat mengakibat citra salah satu pihak menjadi terganggu, baik citra di sisi pemberi informasi maupun di sisi rekan kerjanya.

Selain itu, sering sekali konsultan tersebut bukan benar-benar direkrut karena kebutuhan internal yang telah disepakati banyak pihak. Kebanyakan, saya lihat, rekruitmen konsultan teknologi informasi datang dari pimpinan atau tingkat tertinggi sebuah instansi pemerintah, dan bukan dari unit TI atau para penggunanya.

Dengan pendekatan ini, sering sekali para konsultan tersebut malah ditempatkan sebagai “lawan” para pihak di lingkungan internal, tetapi menjadi “kawan dari pimpinannya. Akhirnya, ternjadi rivalitas dalam menyusun rencana dan rancangan teknologi informasi. Tentunya, konsultan tidak akan memiliki banyak waktu untuk menghadapi rivalitas tersebut. Jalan tengahnya mereka hanya menyusun rencana atau rancangan yang disepakati dengan pimpinan instansi pemerintah atau menyusun rencana dan rancangan yang bersifat “basa-basi” karena tidak ingin “menyinggung” perasaan pihak lain yang ada di internal instansi pemerintah.

Parahnya, “umur ekonomis” sebuah jabatan pimpinan instansi publik di negeri sangat pendek dan rentan terhadap “move-move” yang ada di sebuah instansi pemerintah. Dalam hitungan saya, umur para pejabat eselon 2, di mana merekalah yang me-lead perubahan atau improvement sebuah instansi pemerintah, tidak lebih dari satu tahun.

Hitungan saya begini, seorang presiden, jika tidak “dirusuhi” dengan isu penggulingan adalah 5 tahun. Kemudian, presiden akan mengevaluasi menterinya setiap tahun. Tapi, presiden, karena sungkan dengan partai politik asal menteri tersebut, tentu tidak men-drop seorang menteri jika tidak perform dalam 1 tahun tersebut. Biasanya, tuan presiden tentu akan memberi waktu paling tidak 2 tahun agar fair. Jika dalam tahun kedua tidak perform juga, maka tidak ada ampun sang presiden tentu akan me-resuffle menteri tersebut. Tapi, ini tentunya dilakukannya ketika masuk tahun ke-3, dimana evaluasi 2 tahunan telah dilakukan.

Nach, jika kita turunkan sampai ke level bawah, pola tersebut tentu berlaku terhadap para direktur jenderal atau pejabat setingkat eselon 1 lainnya. Tentu, untuk mengejar kinerjanya agar tidak di-drop di tahun ke-3, para menteri akan sangat ketat dalam mengevaluasi kinerja para pejabat eselon 1-nya. Namun, karena proses penghentian seorang pejabat eselon 1 harus melalui presiden, seorang menteri hanya bisa menghentikan seorang pejabat eselon 1 pada tahun ke-2, kecuali dalam hal-hal tertentu, misalnya perbedaan afiliasi politik atau pelanggaran signifikan dari pejabat eselon 1 tersebut.

Jika kita turunkan ke umur jabatan eselon 2, maka bisa diperkirakan bahwa seorang eselon 2 bisa diturunkan dari jabatannya jika dalam 6 bulan pertama tidak menunjukkan kinerja atau pimpinannya tidak menyukai cara kerjanya atau faktor lain yang bersifat subjektif.

Dengan demikian, jika konsultan hanya meng-approach seorang pimpinan instansi setingkat eselon 2 atau 1, bisa terjadi di mana rencana dan rancangan teknologi informasi sebuah instansi pemerintah yang telah disahkan oleh pejabat tersebut malah tidak bisa diimplementasikan. Yang saya maksud dengan pimpinan instansi pemerintah di sini tidak hanya kementerian/lembaga di tingkat pusat atau daerah, tetapi juga sebuah organisasi corporate yang dikelola seperti instansi pemerintah, yang biasa dikenal sebagai badan layanan umum (BLU) seperti rumah sakit dan juga badan usaha milik negara/daerah (BUMN/D).

Biasanya, ketika terjadi penggantian pejabat eselon 2 atau 1, sebuah rencana atau rancangan tidak otomatis bisa dijadikan acuan oleh para pihak. Beberapa pihak yang sebelumnya tidak setuju atau tidak merasa dilibatkan dalam proses penyusunannya, akan cenderung melakukan lobi sehingga rencana atau rancangan itu tidak diimplementasikan. Lobi yang paling sederhana adalah menyatakan bahwa sebuah rencana atau rancangan adalah terlalu luas, kurang spesifik, sampai dengan menyatakan bahwa rencana atau rancangan tersebut salah total.

Seorang konsultan teknologi informasi perlu mengetahui aspek politik internal tersebut jika ingin hasil kerjanya dapat diimplementasikan. Memang, untuk dapat mencapai hal ini, banyak proses melelahkan harus dilalui oleh seorang konsultan, dari mulai harus sering melakukan brainstorming ke para key users, konsinyir di luar kota, rapat berhari-hari, sering “mengumbar” senyum yang tidak perlu, sampai sering “mentraktir” para key users tersebut. Proses ini, menurut saya, harus dilalui oleh seorang konsultan, walaupun akhirnya akan mengakibatkan cost, waktu, dan enerji yang harus dikeluarkan menjadi signifikan, yang mestinya diantisipasi sejak penawaran harga dari konsultan ke instansi pemerintah pada saat proses lelang.

Bagi saya, dalam kasus seperti ini, konsultan teknologi informasi harus mengutamakan efektivitas sebuah proses, daripada efisiensi. Adalah hal lazim, bahwa ketika terjadi konflik antara efektivitas dan efisiensi, maka konsultan teknologi informasi harus mengutamakan efektivitas.

Menurut saya, akuntabilitas ketidakefisienan sebuah proses masih bisa diterima jika pada akhirnya efektif. Sebab, jika kita hanya memperhatikan efisiensi, sering sekali produk teknologi informasi menjadi tidak dimanfaatkan oleh penggunanya, menjadi rongsokan, dan akhirnya merugikan keuangan negara, yang tentunya akan dibebankan ke kita semua.

Suatu ketidakefisienan dapat ditoleransi dalam skala tertentu. Ini bisa kita anggap semacam toleransi tingkat error dalam perhitungan statistik. Sebuah proses komunikasi dan pengendalian mutu yang terus menerus nantinya akan semakin menurunkan tingkat ketidakefisienan tersebut.

Anda mempunyai pendapat lain tentang artikel ini? Silahkan posting di sini.

Komentar

Anonim mengatakan…
Sekedar sharing pengalaman saja, sy sependapat dg bpk. bahwa konsultan IT slama ini hanya digunakan sbg "gincu" pemanis dlm implementasi IT, tdk lbh hanya mjd sebuah "project konsultan". bahkan sy sendiri sempat di "blacklist" oleh salah satu dinas di salah satu pemda pd saat pembuatan masterplan. karena data yg sy suguhkan adalah data real sesuai hasil survay kami dilapangan. tp saat itu sy diminta utk merubah hasil survey yg tlh sy lakukan sesuai kpentingan "output project" yg mereka inginkan.

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke