Langsung ke konten utama

PELAYANAN VALIDASI SSB BPHTB

Bagi Anda yang dalam waktu dekat akan membeli atau menjual rumah atau tanah, lakukan segera balik-nama surat-surat pembelian dan penjualannya. Mengapa demikian? Dalam jual-beli ini, telah lama berlangsung kewajiban untuk melunasi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sekarang ini, kalau Anda mau mengurus surat-surat rumah/tanah, Anda dipersyaratkan untuk membayar BPHTB tersebut dan menyampaikan bukti pembayarannya (surat setoran bea-SSB) ke PPAT dan Kantor Pertanahan. 

Untuk membuktikan bahwa SSB tersebut valid, maka PPAT/Kantor Pertanahan akan meminta Anda untuk datang ke kantor pelayanan pajak (KKP) dan meminta stempel sebagai bukti validasi dari KKP. Namun, sejak 1 Januari 2011, keseluruhan BPHTB akan diserahkan pengelolaannya ke pemerintah daerah kabupaten/kota (Pemda). Yang menjadi masalah saat ini, kepada dinas/satuan kerja apa di Pemda pengurusan stempel tersebut? Apakah ke dinas pendapatan? Atau dinas lain? Beberapa daerah ada yang telah mengubah dinas pendapatan menjadi dinas pendapatan dan pengelolaan keuangan daerah. 

Kemudian, ada juga yang memindahkan seluruh proses pelayanan ke kantor perijinan satu atap. Dapat dibayangkan, apakah pemerintah daerah sudah siap untuk melakukan pelayanan tersebut? Apakah sudah jelas satuan kerja mana yang akan melayani kebutuhan validasi tersebut? Kemudian, yang menjadi issu, adalah apakah pelayanan validasi tersebut akan semudah seperti selama ini? Akankah kita malah harus membayar biaya illegal untuk memudahkan proses validasi tersebut? Sampaikan pendapat Anda di sini!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke