Langsung ke konten utama

Assessment dan Tantangan TIK Kabupaten/Kota

Tiga hari ini saya mengikuti proses assessment implementasi e-government, atau lebih tepat tata-kelola TIK pada beberapa kabupaten/kota di sebuah provinsi. Assessment ini baru dilakukan pertama kalinya tahun ini. Sebelumnya, assessment biasanya dilakukan pada tingkat provinsi dan kementerian. Memang ada juga assessment yang dilakukan lembaga-lembaga non formal. Namun, assessment yang saya ikuti ini adalah berbeda pendekatannya.

Ternyata, banyak hal yang sebenarnya memiriskan hati. Kebanyakan pemerintah kabupaten/kota masih belum sadar tentang pentingnya peran TIK. Karena itu, tidak aneh jika kita melihat bahwa umumnya kualitas pengelolannya pun masih rendah. Kebanyakan pemerintah kabupaten/kota masih sibuk dengan prioritas pembangunan fisik jalan dan infrastruktur sejenis.

Di luar itu, ternyata ada yang menarik, yaitu umumnya ada perkembangan implementasi TIK yang cukup bagus di kabupaten/kota, yaitu pada sistem pelayanan kependudukan dan pendidikan. Paling tidak, sekarang sudah mulai dibangun jaringan yang menghubungkan beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) untuk kepentingan tersebut. Di luar itu, umumnya sistem masih dijalankan secara lokal di gedung OPD atau bahkan masih banyak yang stand-alone.

Sayangnya, saya lihat inisiatif kedua sistem tersebut masih terpisah-pisah. Kabupaten/kota juga hanya menerima apa adanya inisiatif dari pusat tersebut. Akhirnya, duplikasi implementasi tidaklah terhindarkan, terutama pada infrastruktur jaringan. Jika saja semua mau bersinerji, berapa besar penghematan yang bisa diperoleh. Uang rakyat menjadi semakin efisien penggunaannya.

Akhirnya, saya melihat, ada tantangan besar pembangunan TIK di kabupaten/kota. Namun, inisiatif sebuah assessment semacam tersebut akan memberikan perubahan berarti di masa datang. Paling tidak, dari assessment ini, masing-masing pihak mengerti apa-apa saja yang perlu diperbaiki di masa datang.

Jakarta, 18 Februari 2010

Komentar

heldi mengatakan…
yth. bapak rudy

terima kasih atas blog nya,
numpang baca-baca yah pak:) tulisannya banyak yang menarik,
budaya TIK di daerah (dan PNS) memang masih kurang pak, maklumlah...

salam kenal dan salam hangat dari bogor

terima kasih
www.heldi.net
Rudy M Harahap mengatakan…
Terima kasih sudah bermanfaat Pak Heldi.
R4HM4N mengatakan…
numpang baca pak..hehe

yah betul dengan adanya pengenalan itu semoga bisa mendorong budaya TIK di kabupaten/kota lebih menggeliat...


salam kenal
(sekarang lg d bulleng)
Rudy M Harahap mengatakan…
OK Pak Rahman
Unknown mengatakan…
Yth. Pak Rudy yang luarr biasa
akhirnya melalui blog ini saya bisa kirim e-mail ke Bapak untuk konsep IT di RS. Jantung & Pembuluh Darah Harapan KIta Jakarta.
Terima kasih Pak dan salam kenal
Anonim mengatakan…
Ysh. Pak Rudy

berbicara masalah pembangungan TIK di berbagai daerah sungguh miris sekali. Saya sebagai seorang pekerja di sektor IT hanya bisa ngelus dada smp hangat... :D
Bagaimana tidak, pembangunan sektot TIK di daerah dibangun tidak berdasar perencanaan, hanya sekedar untuk penyerapan anggaran.... jadinya impact yg terjadi, adalah ketidaksinambungan pembangunan TIK antar organisasi perangkat daerah. Dimana, mereka membangun sendiri2 yang ujung2nya malah tidak bisa berkomunikasi dgn baik. Sehingga tujuan yang ingin dicapai oleh penerapan TIK tidak bisa di raih dgn maksimal... Selain itu dari segi SDM yang mengelola TIK, spt nya tidak seimbang bahkan menjurus ke arah asal sekedar tahu dan menjalankan perintah atasan...
Harusnya dalam membangun suatu TIK di level daerah adalah mengidentifikasi kebutuhan dan sasaran yang ingin di raih... Bukan hanya sekedar ingin menyerap anggaran agar tidak hangus, hehehehe....
Mungkin itu saja sekelumit pengalaman mengerjakan TIK di daerah dari pekerja IT macam saya ini... :D
salam hormat

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke