Langsung ke konten utama

Framework Pengembangan Sistem Informasi Instansi Pemerintah: Studi atas BPKP Enterprise System (BEST)

Rudy M. Harahap
Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Bina Nusantara
Jl. K.H. Syahdan No. 9, Kemanggisan/Palmerah, Jakarta Barat 11480
rudy.m.harahap@binus.ac.id

Dipublikasikan di Proceeding e-Indonesia Initiative 2009,
Bandung, 24-25 Juni 2009 (dengan beberapa updating)

Abstraksi
Umumnya, instansi pemerintah di Indonesia telah mengembangkan sistem informasi berbasis teknologi informasi di lingkungannya masing-masing. Namun, pengembangan tersebut masih bersifat sporadis yang belum mengacu kepada framework pengembangan sistem informasi yang telah teruji di suatu instansi pemerintah. Di sisi lain, belum terdapat framework pengembangan sistem informasi instansi pemerintah yang bersifat terbuka dan dapat diadopsi oleh instansi pemerintah lainnya di Indonesia. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi suatu framework pengembangan sistem informasi yang dapat diadopsi oleh instansi pemerintah di Indonesia, yang telah dikembangkan dan diimplementasikan di BPKP. Framework ini mengacu kepada eXtended Enterprise System (XES) yang dikembangkan oleh Murrell G. Shields. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metodologi penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dokumentasi, dan pengamatan.

Kata Kunci: pengembangan sistem informasi, framework, instansi pemerintah

1. PENDAHULUAN

Implementasi teknologi informasi di instansi pemerintah tidak akan terlepas dari perkembangan sistem administrasi pemerintahan. Seberapa besar peran teknologi informasi akan tergantung kepada seberapa maju sistem administrasi pemerintahan di sebuah negara.

Teknologi informasi jika berdiri sendiri tidak akan memberikan manfaat nyata. Karena itu, implementasi teknologi informasi mesti menjadi bagian dari suatu pengembangan sistem informasi, di mana sistem informasi tidak selalu menyangkut peralatan komputer dan telekomunikasi. Sistem informasi lebih dari sekedar teknologi informasi. Namun, kadang kala pengertian teknologi informasi dan sistem informasi dapat saling dipertukarkan.

Di Indonesia, kebanyakan instansi pemerintah telah mengimplementasikan sistem informasi berbasis teknologi informasi. Namun, implementasi tersebut belum mengacu kepada suatu framework pengembangan sistem informasi yang telah teruji di instansi lain. Karena itu, tidak aneh jika beberapa implementasi sistem informasi di instansi pemerintah dilakukan secara sporadis. Beberapa implementasi teknologi informasi di sektor publik pun dirasakan tidak memberikan manfaat nyata kepada masyarakat sebagai pengguna langsung layanan publik.

Agar implementasi sistem informasi dapat terarah, instansi pemerintah memerlukan suatu framework pengembangan sistem informasi. Namun, kebanyakan framework tersebut masih mengacu kepada framework negara maju. Framework ini umumnya mengambil model organisasi swasta.

Amerika Serikat telah memiliki Federal Enterprise Architecture Framework [1]. Framework ini merupakan acuan bagi instansi pemerintah di tingkat federal dalam menyusun arsitektur TI masing-masing instansi agar bisa disinerjikan dengan arsitektur federal. Namun, framework ini tidak menguraikan isi (content) dari arsitektur federal tersebut.

Beberapa penelitian umumnya hanya melihat framework pengembangan sistem informasi pada aspek teknis. Sebagai contoh, Maad and Coghlan [20] telah melakukan penelitian tentang framework pengembangan yang terkait dengan implementasi grid portal pada e-government. Penelitian lain terkait dengan enterprise architecture frameworks yang dikembangkan oleh Zachman dan Gartner [17].

Penelitian ini mengeksplorasi implementasi framework pengembangan sistem informasi di lingkungan instansi pemerintah di Indonesia, dengan mengambil studi kasus di BPKP. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan suatu benchmark framework pengembangan sistem informasi yang dapat menjadi acuan instansi pemerintah di Indonesia.

Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian berdasarkan kondisi di mana dianggap sesuatu harus diubah untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik bagi kehidupan. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Metodologi yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi pustaka, dokumentasi, dan pengamatan. Pada penelitian ini, peneliti mengidentifikasi masalah, mengumpulkan fakta dan opini, dan mengidentifikasi kesenjangan (gap). Kemudian, peneliti mengidentifikasi tindakan dan menganalisis hasil dan merekomendasikan tindakan selanjutnya.

2. PEMBAHASAN

Menurut Onno W. Purbo [22] , teknologi informasi, seperti teknologi lainnya, merupakan alat bantu manusia untuk mencapai tujuan. Teknologi informasi adalah berbagai perangkat, baik dalam bentuk perangkat keras maupun perangkat lunak. Komputer yang terhubung ke komputer lain melalui jaringan lokal (local area network) merupakan salah satu contoh dari implementasi teknologi informasi.

Di sisi lain, sistem informasi (information systems) adalah sistem yang terdiri dari manusia dan komponen teknisnya yang menerima, menyimpan, memproses, mengeluarkan, dan mentransmisikan informasi. Sistem informasi kepegawaian yang terdiri dari staf dan komputer yang mengumpulkan data dan memprosesnya menjadi laporan yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan adalah salah satu contoh bentuk sistem informasi.

Budi Rahadjo [23], telah memprediksi implikasi teknologi informasi terhadap kepemerintahan. Pertama, teknologi informasi akan memaksa pemerintah untuk menjalankan pemerintahan dengan transparan. Pejabat-pejabat akan dapat dihubungi melalui e-mail. Birokrasi pelaporan akan terkikis dengan Internet. Kedua, aplikasi teknologi informasi yang berhubungan dengan pemerintahan dapat mendekatkan pejabat dengan rakyatnya. Misalnya, town house meeting dapat dilaksanakan melalui teleconferencing.

Pada praktiknya, peran teknologi informasi di Indonesia semakin populer dengan dikenalkannya e-government. Menurut Wawan Wardiana [32], banyak manfaat yang dapat diperoleh dari e-government. Antara lain, pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat; peningkatan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum; pemberdayaan masyarakat melalui informasi yang mudah diperoleh; dan pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien.

Di negara lain, telah banyak studi yang menyatakan manfaat dari implementasi teknologi informasi. Pada umumnya, manfaat yang diperoleh adalah meningkatnya efisiensi, tumbuhnya desentralisasi, meningkatnya akuntabilitas, meningkatnya manajemen sumber daya, dan lebih berorientasi pasar [3].

Aplikasi e-government di Indonesia semakin populer terkait dengan perkembangan Internet yang semakin cepat. Dalam Azhar Hasyim dkk [2], Onno W. Purbo telah memprediksi bahwa perkembangan pengguna Internet di Indonesia akan mengikuti deret eksponensial. Menurut catatan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), pada pertengahan tahun 2006 saja ternyata jumlah pengguna Internet di Indonesia telah mencapai 20 juta orang, sementara yang menjadi pelanggan adalah 6 juta orang [9]. Pada tahun 2008, total pengguna Internet di Indonesia telah mencapai 25 juta orang dengan pertumbuhan selama 8 tahun (dari 2000 – 2008) sekitar 1,150%. Jumlah pengguna ini merupakan 10,5% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,5 juta jiwa [12].

Sayangnya, perkembangan e-government di Indonesia belum seperti yang diharapkan. Perkembangan teknologi informasi kepemerintahan di Indonesia dimulai dari masuknya komputer pertama kali ke Indonesia pada awal tahun 1970-an. Kemudian, muncul wacana perlunya standar profesi bagi pegawai instansi pemerintah yang bekerja di bagian pengolahan data elektronik pada tahun 1980-an. Kemudian, tahun 1996 pemerintah mulai membangun infrastruktur telekomunikasi yang menghubungkan seluruh kota di Indonesia. Proyek ini dikenal sebagai Nusantara-21. Dengan proyek ini, diharapkan, pada tahun 2001, lebih dari 500 kota telah terhubung di dalamnya.

Pada tahun 1997, dengan Keputusan Presiden Nomor 30 dibentuk Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI). Salah satu produk dari tim ini adalah Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia. Melalui Inpres Nomor 6 Tahun 2001 ini telah disusun Daftar Rencana Aksi sebanyak 75 kegiatan.

Inpres Nomor 6 Tahun 2001 produk pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ini berisi kebijakan tentang acuan dan landasan bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengembangan dan pendayagunaan telematika. Pada tahun 2003, Presiden Megawati menerbitkan Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government. Melalui Inpres Nomor 3 Tahun 2003 ini, instansi pemerintah diharapkan merumuskan rencana tindak masing-masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. Walaupun demikian, penyusunan rencana tindak ini kurang berjalan dengan baik.

Pada Inpres Nomor 3 Tahun 2003 ini, Pemerintah juga telah menetapkan Kerangka Arsitektur e-Government. Kerangka arsistektur ini adalah untuk diimplementasikan pada tataran nasional, di mana kerangka arsitektur ini terdiri dari 4 level, yaitu akses, portal pelayanan publik, organisasi pengelolaan dan pengolahan informasi, serta infrastruktur dan aplikasi dasar. Keempat level tersebut ditunjang oleh 4 pilar, yakni penataan sistem manajemen dan proses kerja, pemahaman tentang kebutuhan publik, penguatan kerangka kebijakan, dan pemapanan peraturan dan perundang-undangan. Namun, kerangka khusus tersebut masih bersifat umum. Karena itulah, umumnya instansi pemerintah belum dapat menyusun action plan sebagaimana diamanatkan dalam Inpres Nomor 3 Tahun 2003.

Dalam kamus The American Heritage Dictionary of the English Language, framework adalah suatu kumpulan asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang membentuk suatu cara melihat realitas (a set of assumptions, concepts, values, and practices that constitutes a way of viewing reality) [5]. Framework juga dapat diartikan sebagai suatu struktur konsep dasar yang digunakan untuk menuntaskan atau mengatasi masalah yang kompleks [6]. Definisi lain dari framework adalah suatu struktur logis untuk mengklasifikasikan dan mengorganisasikan informasi yang kompleks (a logical structure for classifying and organizing complex information) [1].

Pengertian framework ini semakin rumit ketika diimplementasikan terkait dengan teknologi informasi. Menurut Shields [31], hal ini terjadi karena aplikasi teknologi informasi telah diistilahkan dalam beberapa hal, seperti ERP, e-business, CRM, e-strores, e-procurement, SCM, dan data warehousing. Beberapa hal juga menjadi duplikasi dengan aplikasi konvensional. Untuk mensinkronisasikannya, Shield menyusun eXtended Enterprise System Framework (XES) agar pengembangan sistem informasi di sebuah organisasi terarah dan terkelola dengan baik. Shields membagi framework pengembangan tersebut pada aspek technical infrastructures, ERP transactional backbone, advanced applications, cross-application repository, dan management dashboard.

Di BPKP, implementasi teknologi informasi telah berlangsung cukup lama, yaitu sejak BPKP berdiri pada tahun 1983, sebelum Pusat Informasi Pengawasan –sebagai unit yang bertanggung-jawab di bidang teknologi informasi di BPKP--dibentuk tahun 2001. Pada tahun-tahun awal berdirinya BPKP, teknologi informasi telah digunakan untuk mengkoordinasikan perencanaan, tata-usaha pengawasan, dan administrasi temuan beserta tindaklanjutnya.

Dengan aplikasi TKP 1 berbasis Basic, yang kemudian menjadi Foxbase (sekitar tahun 1990-an dan selanjutnya dikenal sebagai Aplikasi PKPT), masing-masing satuan kerja pemeriksa di BPKP telah dapat mengisi rencana objek yang akan diperiksa. Kemudian, data tersebut dikirimkan ke BPKP Pusat melalui jalur telepon (interlokal). Mengingat Internet belum berkembang seperti saat ini, komunikasi data dilakukan dengan men-dial server di BPKP Pusat.

Setelah data terkirim, kemudian dilakukan kompilasi dengan sistem aplikasi berbasis jaringan komputer dengan sistem operasi SCO xenix. Kemudian, dilakukan peningkatan sistem jaringan yang berbasis sistem operasi VMS dari DEC. Namun, aplikasi yang berbasis sistem operasi VMS ini tidak berjalan optimal.

Untuk mengompilasi ikhtisar temuan pemeriksaan dan tindak lanjutnya, tersedia Aplikasi TKP3. Selain itu, terdapat Aplikasi TKP2 untuk tata-usaha kegiatan pengawasan. Namun, aplikasi ini tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Sebelum terbentuknya Pusat Informasi Pengawasan tahun 2001, database yang berhubungan dengan administrasi temuan dan tindak-lanjut telah di-upgrade sehingga berbasis relasional. Selain itu, juga terdapat aplikasi Daftar Riwayat Pegawai (DRP) yang dikembangkan oleh Biro Kepegawaian dan Organisasi untuk mengadministrasikan data pegawai. Biro Kepegawaian dan Organisasi juga memiliki Aplikasi Assessment yang mendata hasil assessment pegawai. Selain itu, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan juga memiliki aplikasi untuk menilai hasil ujian pejabat fungsional auditor.

Dari segi infrastruktur teknologi informasi, sekitar tahun 1999, BPKP telah mulai membangun jaringan lokal yang menghubungkan seluruh gedung yang ada di BPKP Pusat (Hayam Wuruk) dengan kabel fiber optic. Jaringan ini kemudian digunakan untuk berbagi file, printer, dan komunikasi e-mail. Selain itu, server di BPKP Pusat sudah mulai dapat diakses secara online dari jalur Internet oleh masing-masing Perwakilan BPKP sekitar tahun 2002.

Setelah berdirinya Pusat Informasi Pengawasan, kemudian dikembangkan beberapa aplikasi lain, seperti aplikasi untuk kepentingan administrasi pejabat fungsional auditor di Pusat Pembinaan JFA dan sistem monitoring penugasan. Pengembangan aplikasi kepegawaian dan aplikasi administrasi temuan dan pemantauan tindak-lanjutnya juga terus dilakukan. Pengembangan juga dilakukan untuk menambah titik jaringan di BPKP Pusat dan infrastruktur teknologi informasi lainnya.

Sebelum dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003, BPKP telah terlibat sejak awal dalam pengembangan e-government. Salah satu rintisannya adalah berupa pembuatan Website BPKP pada tahun 1999. Pada waktu itu, infrastruktur Website BPKP keseluruhannya masih menggunakan infrastruktur PT Telekomunikasi Indonesia. Server masih menyewa dengan space yang terbatas. Mengingat beban anggaran hosting yang cukup besar, kemudian dilakukan pemindahan content Website ke server di gedung BPKP Jalan Hayam Wuruk pada 2001.

Dengan investasi yang terbatas, BPKP Pusat telah memiliki jaringan LAN yang terkoneksi ke Internet. Jaringan tersebut telah didukung oleh sistem keamanan yang cukup memadai. Sistem keamanan ini juga makin diperkuat dengan pembangunan Intranet BPKP. Selain itu, BPKP sudah mulai merintis e-procurement, yaitu dengan mempublikasikan beberapa informasi pengadaan (tender).

Pada sistem e-mail yang dimiliki saat ini, BPKP juga telah memiliki kunci publik (public key) yang berlaku di internal BPKP. Sistem e-mail juga dilengkapi oleh sistem enkripsi yang cukup memadai. Dengan sistem keamanan ini, pegawai dan pejabat BPKP telah terbiasa menggunakan e-mail untuk melakukan pengiriman dan penerimaan data hasil pengawasaan yang bersifat reguler maupun crash program, seperti BOS, Pemtak, PKPS-BBM, dan RDI. Selain itu, komunikasi suara antar satuan kerja BPKP di seluruh Indonesia juga telah menggunakan voice over Internet protocol (VOIP) berbasis teknologi Cisco. BPKP juga telah memiliki network management system, termasuk bandwidth management system (Expand).

Agar Website BPKP dapat terus ter-update, dengan Keputusan Sekretaris Utama, BPKP juga telah membentuk Forum Pengelola Website BPKP. Forum ini terdiri dari wakil masing-masing unit kerja. Mereka bertugas untuk mengumpulkan informasi resmi yang ada di unit kerja dan mempublikasikannya ke Website. Publikasi ini mengacu kepada standar otorisasi yang ada, yaitu melalui otorisasi Kepala Biro Hukum dan Humas BPKP.

Pada aspek legal, BPKP telah menerbitkan Keputusan Kepala BPKP tentang Kebijakan Sistem/Teknologi Informasi. Kemudian, Kepala BPKP juga telah menerbitkan Pedoman Pengembangan Jaringan Komunikasi Data di Lingkungan BPKP.

Selain itu, sebelumnya Kepala BPKP juga telah menerbitkan Keputusan tentang Tim Koordinasi Pengembangan Sistem Informasi Manajemen BPKP. Dalam pelaksanaan koordinasi sehari-hari, juga telah dibentuk Sub Tim Koordinasi Pengembangan Basis Data, Sub Tim Koordinasi Pengembangan Website, dan Sub Tim Koordinasi Pengembangan Aset Teknologi Informasi.

Pengembangan e-government di BPKP diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu kebutuhan masyarakat yang telah dipenuhi oleh BPKP adalah berupa informasi hukum/peraturan-peraturan. Menurut beberapa e-mail yang masuk, informasi hukum/peraturan-peraturan melalui Website BPKP ini merupakan salah satu informasi terlengkap yang pernah ada di Indonesia. Karena itu, peningkatan informasi hukum tersebut terus dilakukan.

Sebelum framework pengembangan sistem informasi disusun di BPKP, implementasi teknologi informasi di BPKP sudah sampai pada suatu titik di mana dirasakan tidak terkoordinasi dan tidak terarah. Karena itu, untuk menciptakan koordinasi dan agar di fase berikutnya implementasi teknologi informasi di BPKP dapat dilaksanakan secara terarah, dipandang perlu untuk menyusun suatu framework pengembangan sistem informasi di lingkungan BPKP.

Selain itu, framework ini disusun mengingat arsitektur pada Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 masih bersifat global dan pada dasarnya arsitektur tersebut berada dalam tataran nasional (high-level) dan tidak dikhususkan untuk diimplementasikan pada lingkup masing-masing instansi pemerintah. Menurut Instruksi tersebut, masing-masing instansi pemerintah diharuskan menyusun sendiri action plan-nya.

Framework pengembangan sistem informasi BPKP disusun dengan maksud agar implementasi teknologi informasi di BPKP dapat dijaga keberlanjutannya walaupun pejabatnya telah berganti. Karena itu, framework ini disusun dengan cukup komprehensif dan dapat diimplementasikan secara fleksibel dalam 5 tahun pengembangan, tanpa modifikasi yang signifikan. Pada framework ini, selain mengembangkan sisi akses dan pembangunan portal informasi pengawasan, BPKP juga mengembangkan infrastruktur dan aplikasi dasar serta organisasi pengelolaan dan pengolahan informasi. Kerangka ini disusun dengan mengacu kepada XES yang disusun oleh Murrell G. Shields (2001).

Setelah melalui due process sekitar dua tahun, framework ini kemudian ditetapkan dengan Keputusan Sekretaris Utama nomor KEP-34/SU/IP/2006 pada tahun 2006 [25], dan dikenal sebagai BPKP Enterprise System (BEST). Mengacu kepada XES, framework pengembangan ini terdiri dari lima aspek (layer) pengembangan, yaitu:

1) Infrastruktur Teknikal (Technical Infrastructure)
2) Aplikasi Transaksi (Transaction Application)
3) Aplikasi Lanjutan (Advance Application)
4) Aplikasi Integrasi/Lintas Satker (Integration Application), dan
5) Portal Pimpinan (Executive Portal)


Secara jelas, lima aspek/ layer tersebut tampak pada Gambar 1.




Gambar 1. Framework Pengembangan Sistem Informasi BPKP
Sumber: Keputusan Sekretaris Utama BPKP nomor KEP-34/SU/IP/2006



Pengembangan infrastruktur teknikal merupakan dasar atau fondasi dari empat pengembangan sistem lainnya. Keberhasilan pengembangan pada fondasi ini akan berpengaruh langsung terhadap pengembangan keempat aplikasi teknologi informasi lainnya. Karena itu, pengembangan infrastruktur teknikal merupakan titik strategis pengembangan sistem informasi di lingkungan BPKP.

Kerangka pengembangan infrastruktur teknikal ini pada dasarnya hampir sama implementasinya di seluruh instansi pemerintah. Instansi pemerintah yang akan membangun layer berikutnya, mestinya mengembangkan terlebih dahulu infrastruktur teknikal ini.

Infrastruktur teknikal yang dibangun di BPKP terdiri dari perangkat keras (hardware), jaringan lokal (local area network), sistem manajemen basis data (database management system), sistem messaging, dan jaringan lintas wilayah (wide area network).

Pengembangan perangkat keras tidak hanya menyangkut perangkat teknologi informasi pada sisi pengguna (client), tetapi juga pada sisi server. Di sini, termasuk juga pengembangan aspek manajemen aset teknologi informasi yang dimiliki oleh BPKP.

Pengembangan jaringan lokal diarahkan pada pembangunan di masing-masing kantor BPKP, terutama sekali kantor Perwakilan BPKP yang berada di daerah, yang tersebar pada 25 ibukota provinsi. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan budaya saling-berbagi (sharing) peralatan komputer, seperti printer, dan scanner, sehingga tercipta efisiensi penggunaan perangkat teknologi informasi. Dari sini juga diharapkan muncul rintisan pembangunan berbagai sistem yang terintegrasi.

Pengembangan sistem manajemen basisdata diarahkan pada upaya untuk menciptakan suatu basisdata bersama yang dapat digunakan oleh para pegawai BPKP. Dengan basisdata bersama ini maka akan tercipta basisdata yang terintegrasi sehingga nantinya pengembangan berbagai sistem aplikasi transaksi akan semakin terarah.

Pengembangan sistem messaging adalah untuk menciptakan sistem komunikasi yang cepat dan efisien. Dengan sistem komunikasi ini, setiap data ataupun informasi yang ada di sebuah unit kerja dapat saling dipertukarkan dengan mudah. Pengembangan ini juga diarahkan untuk menciptakan sistem kolaborasi dan koordinasi dengan dukungan teknologi informasi. Pada akhirnya, pengembangan ini diarahkan untuk menciptakan knowledge management di lingkungan BPKP.

Pengembangan jaringan lintas wilayah dimaksudkan untuk menghubungkan berbagai unit kerja BPKP yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan adanya jaringan ini, maka hambatan komunikasi data dan suara karena batasan wilayah akan semakin menipis. Selain itu, setiap pegawai BPKP yang bekerja di suatu wilayah diharapkan dapat memanfaatkan fasilitas yang ada di kantor BPKP di wilayah lainnya.

Pengembangan aplikasi transaksi diarahkan untuk mendukung manajemen operasional BPKP, seperti manajemen keuangan, sumber daya manusia, administrasi audit/evaluasi, dan administrasi umum.

Dalam halnya pengembangan di instansi pemerintah lainnya, pada dasarnya semua aplikasi transaksi ini juga perlu dikembangkan. Namun, khusus aplikasi transaksi yang mendukung core activities, akan berbeda dengan yang dikembangkan di BPKP. Sebagai contoh, untuk instansi pemerintah yang berperan di bidang peradilan, maka core activities-nya adalah manajemen kasus (case management) dan bukan manajemen audit/evaluasi seperti halnya di BPKP.

Di BPKP, aplikasi transaksi yang mendukung manajemen keuangan menyangkut aspek keuangan unit kerja. Dengan dicanangkannya anggaran berbasis kinerja, pengembangan sistem ini diarahkan untuk mendukung manajemen anggaran berbasis kinerja.

Aplikasi audit/evaluasi adalah untuk mendukung administasi kegiatan audit/evaluasi yang dilakukan sehari-harinya oleh unit pemeriksa BPKP. Sistem ini terutama untuk memberikan informasi mengenai kemajuan dan status penugasan. Informasi ini diharapkan dapat diakses secara online tidak hanya dalam lingkup unit kerja BPKP di daerah, tetapi juga oleh pimpinan BPKP di kantor pusat.

Aplikasi sumber daya manusia mencakup 3 sistem utama, yaitu sistem aplikasi kepegawaian, JFA, dan kediklatan. Sistem aplikasi kepegawaian diarahkan untuk membangun sistem workflow yang memungkinkan pelayanan administrasi kepegawaian yang cepat, akurat, dan tepat waktu. Sistem aplikasi JFA diarahkan dapat memberikan informasi dalam rangka pengembangan SDM JFA, baik yang berada di bawah BPKP maupun yang di luar BPKP. Pengembangan sistem aplikasi kediklatan diarahkan untuk mendukung sistem pendidikan dan pelatihan, seperti penggunaan teknologi informasi untuk pelatihan di kelas dan di luar kelas.

Aplikasi administrasi umum adalah aplikasi untuk mendukung manajemen umum BPKP. Aplikasi administrasi umum yang akan terus dikembangkan adalah sistem disposisi elektronik dan sistem dokumentasi surat keluar yang memudahkan pelacakan surat-surat yang masuk dan keluar dari BPKP, yang mengarah pada e-office.

Pengembangan aplikasi lanjutan diarahkan untuk mendukung aspek stratejik pengawasan, baik yang dilakukan oleh BPKP maupun instansi lain. Sistem yang dibangun tidak hanya diarahkan untuk kepentingan internal BPKP, tetapi juga untuk pihak luar, termasuk publik. Sistem yang dibangun di sini mencakup pengembangan sistem untuk mendukung customers/stakeholders relationship management (C/SRM), supply chain management (SCM)/national internal audit reporting system (NIARS), audit elektronik (e-Audit), web murni (pure web), aplikasi riset, dan aplikasi lainnya, seperti document management system (DMS).

Di instansi pemerintah lainnya, pengembangan layer ini akan berbeda sekali. Untuk instansi pemerintah yang bersifat pelayanan, maka C/SRM masih dibutuhkan. SCM penting untuk instansi pemerintah yang dalam melakukan pelayanan membutuhkan koordinasi secara terintegrasi dengan instansi pemerintah lainnya.

Pengembangan C/SRM di BPKP dimulai dengan adanya sistem aplikasi hasil pengawasan. Nantinya, sistem ini diharapkan dapat diakses dan berinteraksi secara langsung dengan para stakeholders BPKP, yang telah dimulai dengan pengembangan President Accountability Support Systems (PASS) dan SIMHP Online System. Dengan demikian, diharapkan BPKP dapat menerima masukan secara langsung dari stakeholders-nya dalam rangka perbaikan strategi pengawasan nasional.

Pengembangan SCM/NIARS sudah dimulai dengan adanya aplikasi program kerja pengawasan tahunan. Sistem ini diharapkan dapat digunakan untuk mendukung manajemen pihak-pihak yang menyuplai kegiatan pengawasan, baik dari BPKP maupun dari luar BPKP. Hal ini telah dimulai dari NIARS untuk hasil audit pengadaan.

Pengembangan e-Audit diarahkan untuk membantu pelaksanaan audit secara elektronik. Dengan e-Audit ini, diharapkan dapat dilakukan audit secara elektronik melalui pertukaran data dengan auditee melalui jaringan komunikasi data. Hal ini sudah mulai dikembangkan bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), yaitu dengan mengembangkan sistem/modul audit pada sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)/e-Procurement System.

Pengembangan web murni diarahkan pada pengembangan sistem web yang menyajikan informasi umum untuk kepentingan publik yang telah dirintis melalui http://www.bpkp.go.id/.

Pengembangan aplikasi riset dan lainnya diarahkan untuk mendukung kegiatan riset dan hal lain di BPKP melalui teknologi berbasis web. Beberapa hal yang sudah dikembangkan adalah e-Library dan e-Reporting pada DMS. Sekarang ini, mayoritas laporan (termasuk laporan periodik) dari Perwakilan BPKP di daerah telah dikirim dalam bentuk elektronik dan tidak dalam bentuk hardcopy. Hardcopy hanya diarsipkan di masing-masing satuan kerja BPKP yang meng-create dokumen tersebut.

Pengembangan aplikasi integrasi diarahkan untuk mengintegrasikan berbagai basisdata yang ada di BPKP, yaitu melalui pengembangan data warehouse. Pengembangan data warehouse menjadi sangat dibutuhkan karena berbagai basisdata dan aplikasi operasional telah berjalan sebelumnya di BPKP. Integrasi berbagai sistem ini tidak dapat dilakukan dengan melakukan perubahan secara parsial pada sistem yang sudah ada. Dengan pengembangan data warehouse, integrasi sistem tidak akan mengganggu berjalannya sistem yang telah ada. Untuk instansi pemerintah lainnya, pengembangan aplikasi integrasi tidak mesti dengan data warehouse.

Di BPKP, dengan adanya data warehouse, diharapkan akan tercipta portal pimpinan. Pengembangan portal pimpinan diarahkan agar pimpinan/eksekutif BPKP dapat langsung mengakses berbagai sistem yang ada secara mudah. Dengan semacam digital dashboard, berbagai indikator penting di BPKP diharapkan dapat dimonitor secara langsung oleh pimpinan BPKP. Dengan demikian, pimpinan dapat memberikan respon yang cepat terhadap kegiatan stratejik BPKP dengan dukungan data yang akurat, relevan, dan tepat waktu.

Setelah framework ini disusun di BPKP, kemudian sistem informasi yang ada di BPKP dipetakan ke dalam framework pengembangan BEST tersebut, dengan memberikan indikator berwarna hijau, kuning, dan merah. Hijau berarti telah terdapat kemajuan berarti pada suatu sistem, kuning berarti sedang dalam proses, sedangkan merah berarti masih belum mencapai harapan yang diinginkan. Hal tampak pada gambar berikut.


Gambar 1. Status Pengembangan Sistem Informasi BPKP Tahun 2008


Peta kemajuan implementasi framework ini kemudian disampaikan secara rutin ke pimpinan BPKP atau melalui rapat-rapat pimpinan. Beberapa permasalahan terkait dengan implementasi framework tersebut didiskusikan langsung dengan pimpinan untuk memperoleh masukan perbaikan.

3. PENUTUP

Beberapa instansi pemerintah telah mengembangkan sistem informasi berbasis teknologi informasi. Namun, pengembangan sistem informasi ini belum didasarkan oleh suatu framework pengembangan sistem informasi yang telah teruji di instansi pemerintah. Framework yang dikembangkan dan diimplementasikan di BPKP dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam penyusunan framework pengembangan sistem informasi instansi pemerintah di Indonesia. Framework ini terdiri dari pengembangan pada aspek Infrastruktur Teknikal, Aplikasi Transaksi, Aplikasi Lanjutan, Aplikasi Integrasi/Lintas Satker, dan Portal Pimpinan. Framework ini dirasakan cukup sederhana, fleksibel, dan komprehensif yang dapat diadopsi oleh instansi pemerintah lainnya di Indonesia secara terbuka.

4. Daftar Pustaka

[1]. CIO Council, The Federal Enterprise Architecture Framework Version 1.1, Chief Information Officers Council, 1999
[2]. Hasyim, Azhar dkk. “Arah Pergerakan Infrastruktur Internet di Indonesia”, http://bebas.vlsm.org, 11 September 2006
[3]. Heeks, Richard dkk., Reinventing Government in the Information Age: International Practice in IT-Enabled Public Sector Reform, Routledge, 1999
[4]. http://203.130.194.234/artikel.php?action=detail&tipe=kliping&id=2006091113093090, 11 September 2006
[5]. http://dictionary.reference.com/browse/framework, 23 Mei 2009
[6]. http://en.wikipedia.org/wiki/Framework, 23 Mei 2009
[7]. http://members.tripod.com/~regionaldua/depdagri.html, 11 September 2006
[8]. http://pengadaannasional.bappenas.go.id, 11 September 2006
[9]. http://www.apjii.or.id/news/index.php?ID=2002052301505&lang=ind, 11 September 2006
[10]. http://www.bappenas.go.id/itf/survey/hasil-survey.htm, 11 September 2006
[11]. http://www.deloitte.com, 10 September 2006
[12]. http://www.internetworldstats.com, 7 April 2009
[13]. http://www.ristek.go.id/index.php?mod=News&conf=v&id=211, 11 September 2006
[14]. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/03/21/brk,20050321-43,id.html, 11 September 2006
[15]. http://www.warta-egov.com/detail.asp?aid=286&cid=3, 11 September 2006
[16]. Indrajit, Eko R., Konsep Dasar Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi, PT Elex Media Computindo, Jakarta, 2000
[17]. Keltikangas, Eero, Enterprise Architecture Documentation and Representation: A Pramatic Documentation Framework, Thesis Submitted in Partial Fullfillment of the Requirements for the Degree of Master of Science in Engineering, 2006
[18]. Long, Geoff dan Onno W. Purbo. ”Indonesia Information Technology Activities”, http://onno.vlsm.org, 11 September 2006
[19]. Lubis, Muhammad Safri. “E-Government, Sebuah Prespektif”, http://www.safri-lubis.info, 2006
[20]. Maad, Soha dan Brian Coghlan, ”Assessment of the potential use of grid portal features in e-government”, Transforming Government: People, Process and Policy, Vol. 2 No. 2, 2008 pp. 128-138
[21]. Office of Government ICT, Queensland Government Enterprise Architecture Framework Version 1.0, The State of Queensland (Department of Public Works)
[22]. Purbo, Onno W. ”Report on the Visit to Canada in September 1998”, http://onno.vlsm.org, 11 September 2006
[23]. Rahardjo, Budi. “Implikasi Teknologi Informasi dan Internet Terhadapa Pendidikan, Bisnis, dan Pemerintahan: Siapkah Indonesia?”, http://budi.insan.co.id/articles/riau-it.doc, 10 September 2006
[24]. Republik Indonesia, “Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government”, 2003
[25]. Republik Indonesia, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, “Keputusan Sekretaris Utama nomor KEP-34/SU/IP/2006 tahun 2006 tentang Kerangka Pengembangan Sistem Informasi BPKP (BPKP Enterprise System)”, 2006
[26]. Republik Indonesia, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. “Pengembangan Jaringan Komunikasi Data dan Suara BPKP (WAN) serta Perangkat Pendukungnya Tahun 2006”, Bahan Presentasi, 2006
[27]. Republik Indonesia, Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, “Sosialisasi Penyampaian Surat Pemberitahuan Secara Elektronik (e-Filing), http://www.pajak.go.id, 21 Maret 2006
[28]. Republik Indonesia, Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, “e-Registration: User Manual Aplikasi Wajib Pajak”, http://www.pajak.go.id, 10 September 2006
[29]. Republik Indonesia, Pemerintah Daerah Banten, Pusat Informasi Bangunan Banten, “Sistem Informasi Arsitektur”, 2004
[30]. Setiyadi, Mas Wigrantoro Roes, “E-Government Sebagai Suatu Investasi: Mengukur Resiko Keuntungan dan Kegagalan-Keberhasilan Implementasi e-Government di Pemerintah Daerah”, makalah tidak dipublikasikan, 2003
[31]. Shields, Murrell G., E-Business and ERP: Rapid Implementation and Project Planning, Jhon Wiley & Sons, 2001
[32]. Wardiana, Wawan, “Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia”, Disampaikan pada Seminar dan Pameran Teknologi Informasi 2002, Fakultas Teknik Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Jurusan Teknik Informatika, tanggal 9 Juli, 2002, http://www.informatika.lipi.go.id, 10 September 2006
[33]. WP, Santika, ”Pengantar Teknologi Informasi”, Diktat Kuliah, http://kur2003.if.itb.ac.id, 11 September 2006

Rudy M. Harahap adalah Kepala Bidang Pengembangan Sistem Informasi, Pusat Informasi Pengawasan, 
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sebelumnya adalah Kepala Bagian Penyusunan Rencana, Biro Perencanaan Pengawasan, dan Kepala Sub Bidang Pengembangan Teknologi Informasi, Pusat Informasi Pengawasan, BPKP. Selain menduduki jabatan formal tersebut, penulis adalah pengajar pada Universitas Bina Nusantara dan anggota Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), mantan anggota Kelompok Kerja Evaluasi Teknologi Informasi (Pokja Evatik) pada Dewan Teknologi Informasi Nasional (Detiknas), dan kini aktif sebagai assessor pada Pemeringkatan e-Government Indonesia (PEGI) yang dikembangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Penulis memperoleh ijazah Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (1996), Master Manajemen (Sistem Informasi) dari Universitas Bina Nusantara (1999), dan Master of Commerce (Information System) dari Curtin University of Technology (2000). Penulis dapat dihubungi melalui e-mail rudy.m.harahap(at)binus.ac.id. Pandangan dan informasi tentang penulis dapat diakses pada http://pojokgagasan.blogspot.com, http://rudymh.blogspot.com, dan http://www.rudymh.8m.com.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke