Langsung ke konten utama

Tentang Shell Gaz Station


Tentu, Anda sering melewati pompa bensin Shell yang bertebaran di Indonesia. Suatu ketika saya bercerita tentang hipotesis saya atas pompa bensin yang sampai sekarang ini kosong terus pengunjungnya. Saya bercerita dengan orang kantor saya tentang itu beberapa waktu yang lalu tentang hipotesis saya, yaitu, pertama, Si Bule Shell salah menginterpretasikan jawaban orang Indonesia ketika bertanya mengenai preferensi mereka menggunakan BBM. Atau, kedua, Si Bule sudah ditipu oleh konsultan perencananya dengan menyampaikan data bahwa ada kebutuhan yang tinggi atas BBM di Indonesia sehingga direkomendasikan agar Shell menginvestasikan pompa bensin. Walaupun, bisa jadi, konsultan perencana tadi sengaja menipu si bule, supaya mendapat proyek pembuatan pompa bensin lebih banyak lagi dari Shell, tidak peduli apakah akhirnya itu pompa bensin terpakai atau tidak.
Setelah beberapa lama, hari ini orang kantor saya itu mengirim email seperti di bawah ini.
Yth. Pak Rudy. Sekadar intermezo, berapa hari lalu saya melintasi pompa bensin swasta (Shell) yang baru saja dibuka di jalan tembus Casablanca. Melihat hal ini saya teringat Pak Rudy, sambil dalam hati saya bertanya "apakah benar surveyor nasional (saya tidak pernah bilang konsultan perencananya orang Indonesia, loch--rmh) selalu membohongi investor asing", pom bensin yang sudah terlanjur ada saja terlihat lengang, kok malah mendirikan yang baru lagi.

Mungkin ada benarnya pendapat Bapak, tapi saya berpendapat lain, mungkin surveryor kita melihat untuk jangka panjang, dengan jumlah penduduk yang ada merupakan pasar yang sangat bagus. Untuk pendapatan saat ini, memang asyarakat masih belum punya pilihan untuk mendapatkan kualitas bahan bakar yang baik dan ramah lingkungan, yang penting kendaraan mereka dapat digunakan, tapi kita tidak tahu 5 atau 10 tahun ke depan mungkin bahan bakar sekelas premiumnya Pertamina akan ditinggalkan. Atau, mungkin juga perusahaan minyak asing memprediksi bahwa umur Pertamina tidak akan lama lagi.. who knows... Tapi, mudah2an tidak demikian, karena saya juga berharap walau pendapatan naik dengan adanya remunerasi saya tetap masih bisa beli bensin murah he..he..

Okey Pak Rudy, berikut adalah pompa bensin Shell di Km. 34 Jagorawi yang terlihat sangat lengang namun mereka malah menambah mesin pompa baru persis di sebelahnya.

Ini komentar saya:
Dalam suatu planning, kita memang harus melihat dan bervisi ke depan. Tapi, kita juga harus memperhatikan resources yang ada. Karena itu, untuk mencapai sesuatu yang jauh ke depan (misalnya 5 tahun ke depan), kita harus punya roadmap.
Dalam kasusnya Shell, mestinya kan bisa saja tahun pertama mereka beli tanahnya yang luas untuk mengantisipasi 5 tahun ke depan. Tapi, station-nya kan bisa dibangun secara modular.
Tapi, saya punya hipotesis lain sekarang, jangan-jangan dulunya mereka memperkirakan bisa berhasil memaksa Pemerintah Indonesia untuk mencabut subsidi BBM. Dengan demikian, BBM di Indonesia sudah mulai menggunakan harga market yang tidak diatur oleh Pemerintah, seperti di negara lain. Sialnya, itu tidak berlangsung mulus. Apa lagi neoliberalisme sekarang dianggap musuh.
Kenapa mereka masih terus bangun station seperti di Casablanca? Mungkin karena sudah keburu kontrak dengan pihak ketiga atau mereka percaya Presiden Indonesia ke depan yang terpilih pasti adalah pendukung neoliberalisme, seperti SBY- Boediono. Jadi, mereka percaya sekali pasangan ini tidak terkalahkan dan dalam 5 tahun ke depan subsidi BBM pasti dicabut.
Apalagi tim kampanye pasangan ini adalah dari luar (Fox Indonesia). Jangan-jangan Shell sudah ngobrol2 dengan Fox Indonesia sehingga sangat pede akan ke mana arah ekonomi Indonesia ke depan. Who knows?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke