Langsung ke konten utama

Boediono: One of the stories that you should know!

Senior saya, yang panggilannya Ossy, menulis tentang Budiono di sebuah milis alumni tempat saya pernah kuliah. Ossy adalah orang yang telah lama dan sangat berpengalaman di bidang pasar modal dan industri keuangan. Tulisannya ini saya sharing di sini untuk bisa menjadi catatan sejarah bagi kita semua.

------------------------------------------------------------------------------

Saat pemerintahan Megawati saya melalui masa itu sbg yang saya sebut sbg masa paling jahiliyah dalam kehidupan negara ini dalam hidup saya .... baik kehidupan politik, korupsi yg luar biasa dan segala macam lainnya ... Tapi ada yg saya susah maafkan dari Laksamana sbg Meneg BUMN (dgn BPPN) dan Boediono sbg Menkeu serta DPR Komisi IX)yang dengan mudahnya menjual bank2 rekap (BCA dll) dgn harga yg sangaaat murah, dan sebenarnya siapapun pembelinya, sdh bisa balik modal hanya dari 3-4 tahun devidennya, padahal ada obligasi rekap dgn nilai 10 kali lipat didalamnya .... yg merupakan uang negara/rakyat ....

Hal yg membuat saya berpikir ada konspirasi asing disitu adalah tidak adanya satu-pun institusi lokal yg membeli bank2 tsb, bahkan saya mendengar bhw jamsostek yg berminat dilarang ikut serta .... Padahal kalau yg beli lokal, tidak perlu ada devisa buat bayar deviden ke luar negeri. Sakiit hati rasanya,melihat rakyat negara ini yg waktu itu sudah sangat susah, tetapi masih dibebani oleh beban obligasi rekap yg luar biasa besarnya, akibat penanganan yg tidak pintar (menjual dgn harga murah dan hanya kepada asing).

Saya cuman heran dan kagum kalau masih ada warga negara yg mengaku dirinya nasionalis untuk masih bisa mengagumi dan mendukung seorang Boediono yg memang sangat santun dan baik, tapi buat saya telah membuat kesalahan yg mahal biayanya bagi negara ini yg buat saya sulit memaafkannya. Lebih baik saya memilih seseorang yang kasar dan tidak santun, tapi saya tahu tekadnya membela rakyat dan negara dan dirinya bisa membuktikan manfaat dan kontribusinya bagi negara. Akan jadi harga yg sangat mahal jadinya sebuah sikap santun tapi kita ijinkan untuk melakukan kesalahan yg akan membebani kita semua sampai anak cucu ....

Bgmn sikap Boedinono waktu itu? Gak perduli apa kata dunia ..."JUAL .....!" Itu bukan saja buat bank rekap, juga BUMN yg diprivatisasi dimana hasil penjualannya buat APBN, bukan buat modal BUMN-nya, yg membuat nilai si BUMN tidak berkembang ....
Rezim bebas devisa tahun yg diatur dalam UU No 24/1999, pdhl dinegara lain tidak diatur dlm bentuk UU krn ini adalah strategi setiap negara yg bersifat fleksibel, di Indonesia malah mengikat sendiri kakinya dlm bentuk UU Devisa. Ini saya sdh suarakan dimedia termasuk di Kompas, sejak tahun 2003, sendirian gak ada temennya, baru sekarang mulai banyak yg ikut bicara, agar UU ini dicabut ....

Termasuk OJK yg saya tentang sejak UU tersebut dibuat, karena di negara lain merupakan hal baru dan belum teruji (saat itu), bahkan di beberapa negara, saat ini, sdg mempertimbangkan kembali ke sistim yg lama, itu semua ada kontribusi Boediono, dan saat beliau jadi Menkeu gak mau tahu semua itu harus dilaksanakan (Pak Darmin yg waktu itu ditugasi menerapkan OJK). Untung segera ada pergantian kabinet ke SBY waktu itu, selain juga Tim OJK sendiri melambat-lambatkan prosesnya,sehingga OJK batal berdiri. Apa yg disebut neolib, ya itu tadi sebenarnya ....

Kalau boediono menjadi Wapres, maka kecil kemungkinan dicabutnya UU yg mengatur sistim kita rezim bebas devisa, berarti juga OJK akan kembali diusahakan diterapkan (pdhl di negara lain gagal), dan privatisasi penuh BUMN2 susah ditolak .... Apa lagi kalau Sri Mulyani jadi Gubernur BI, siapa lagi (Menkeu) yg bisa tegas menolak Boediono? Apa lagi pemahaman para elit (termasuk SBY sbg presiden) ttg kebijakan2 yg saya jelaskan diatas "belum" tentu bagus atau paham dampak strategisnya, apa lagi kalau sejak awal sudah bilang beliau adalah ekonom yang handal yg pasti akan dipercaya sepenuhnya .....

Kemarin Boediono tidak bisa bergerak banyak karena ada JK yg sangat
nasionalis danada Sri Mulyani yg rasional dan nasionalis juga (SM walau tidak
sesantun Boediono karena pribadinya yg tegas, buat saya lebih negarawan dan pro
rakyat dari pada Boediono, saya tidak melihat kebijakan2 SM sbg antek
IMF).

Drajad Wibowo bagus pernyataanya ttg tekad Boediono yg diumumkan di
Bandung: "Statement semenit, tidak bisa menghapus track record bertahun-tahun
..."*

Itu betul sekali .... Drajad dan saya serta Ito Warsito bersama-sama mengalami masa itu mencegah penjualan bank rekap dan mengusulkan financial engineering menarik obligasi rekap di bank rekap sebelum bank rekapitu dijual .... dimana nilai obligasi rekap yg bisa ditarik tanpa pemerintah keluar uang sekitar Rp 100 triliun tapi kita gagal karena ya Laksamana dan Boediono serta Komisi IX DPR itu ..... Kalau megawati saya gak salahin, kan sdh pada tahu sendiri kualitasnya bgmn ....:) Kalau ini yg salah yg milih
beliau ....

Btw, skema financial engineering u/ penarikan obligasi rekap itu sudah kita
resentasikan dihadapan sekitar 100 orang ahli keuangan di Indonesia, sebut saja
PWC, E&Y, Managing Director Bank Asing,Konsultan bule dari Worl Bank, Depkeu
(Pak Fuad Rachmany),BPPN, Direksi BRI .... Semuanya tidak ada yg bisa mencari
kelemahan skema tsb, malah mereka bertanya kenapa Pemerintah tidak mengambil
skema itu ... Oh ya, akhirnya setelah seluruh bank rekap hampir terjual akhirnya
saya sempat juga presentasi di depan Menkeu Boediono, sendirian. Saat selesai,
saya bilang ke beliau bhw walau gak ada gunanya, saya puas bisa kasih tahu
beliau caranya yg sebenarnya sangat
sederhana ....

Pak Ade Sumantri, Wk Ketua BPPN, bahkan tidak percaya bhw skema penarikan obligasi rekap tsb sangat mudah,karena mereka sdh bertahun-tahun mencari jalannya, tapi tidak ketemu. Tapi karena tidak percaya semudah itu, akhirnya tidak diambil juga .... Cerita ini saya dapat dua bulan yg lalu dari temen saya yg jadi kepercayaan Pak Ade Sumantri ....

Ketika saya menyadari bahwa saya gagal dan harus menerima kenyataan
seluruh bank rekap sdh terjual, obligasi rekap menjadi beban yg harus dibayar
tunai, Indosat yg sdh terjual ke asing ... saya hanya mengatakan pada diri
saya,semoga Allah SWT mengampuni mereka yg secara sengaja atau tidak sengaja
membebani seluruh rakyat Indonesia dengan beban yg seharusnya tidak sebesar ini.
Serta mereka yg membuat Indonesia terjajah secara ekonomi oleh asing (kondisi
perbankan yg dikuasai asing hari ini fakta yg tidak bisa dibantah dan sekarang
mengikat hidup kita) .....

Mungkin saja beliau menyadari kesalahannya, serupa dengan Amerika sbg
negara kapitalis tulen yg akhirnya menyadari bahwa bail-out dari negara ternyata
dibutuhkan,walau itupun melanggar prinsip2 utama kapitalisme dan
liberalisme,sehingga buat beliau, ini kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya
dulu.
Bisa saja beliau menjadi Wapres, tapi menjadi tugas utama khususnya
parpol pendukungnya untuk memastikan mengawasi terus kebijakan2 beliau. Tapi
kalau ternyata gagal mengawasinya, jangan pernah terlontar ucapan "Waaah maaf
saya nggak menyadari beliau begitu ..." atau alasan a la politikus lainnya yg
sifatnya melepaskan tanggung jawab ...

Kalau seperti itu jadinya, siap2 saja anak saya bilang "Basiiiii deeeh
........... !" Dan siap2 saya cuman bilang "Keledai saja tidak pernah jatuh
dilobang yang sama ...." Btw, kita membutuhkan pemimpin yang akan memberi kita
kebanggaan sebagai bangsa, yang melindungi kita dari dominasi asing, bukan
pemimpin yang membuka pintu bagi asing untuk masuk kedalam rumah kita dan
menguasai serta mengatur hidup kita. Kita membutuhkan pemimpin yang tegas untuk
bisa mengatur negara ini dengan baik, bukan pemimpin yang santun namun
sebenarnya melemahkan bangsa ini ... Kecuali memang maunya seperti itu ... It is
your choice, not mine .....

Ossy'81

Berikut catatan dari saya:

Tulisan ini sangat menarik untuk menjadi sebuah catatan sejarah. Akan menariklagi kalau dibukukan.

Saya melihat ketika SBY memilih Boediono, koq seperti mengulangi kesalahanketika McCain memilih Pauline. Kalau saja JK mendapat pasangan yang tidakterperangkap dengan masa lalu, mungkin JK akan dengan mudah memenangipertarungan ini. Kalau Megawati, yach, memang masa lalu yang harus dilupakan.

Well, saya tidak akan mendiskusikan hal itu lebih lanjut. Area politik yangsulit untuk diikuti. Namun, ada yang terpikirkan oleh saya sedikit di tulisanBung Ossy ini. Apakah ketika Boediono pada waktu itu mengambil pilihan karena iaingin modal yang masuk untuk membeli bank rekap adalah dari negara lain untukkepentingan masuknya dollar US sebagai sebuah devisa? Dengan demikian, kursdollar US di dalam negeri akan bisa dikendalikan karena sedang meroket pada waktu itu karena cadangan dollar US kita yang rendah.

Atau, memang Boediono berfikiran bahwa semua hal di Indonesia ini akan lebih maju dan lebih tertata jika dikelola oleh asing sebagai mandornya? Dengan teori, ketika sebuah perusahaan dikelola oleh bule maka akan tampak profesional dan intervensi kepentingan dari partai politik dan aparat menjadi rendah. Inikah yang disebut penganut paham ekonomi pasar? Yang percaya bahwa pasar akan efisien jika dibiarkan bebas, tanpa intervensi dari pemerintah. Sebuah negara tanpa pemerintah.

Kita tentu masih ingat ketika audit keuangan terhadap BUMN go publik punsekarang sudah diserahkan ke ekonomi pasar. Semua BUMN yang go publik diaudit oleh akuntan publik, kan? Bukankah kita juga penganut ekonomi pasar?

Ketika akhirnya lembaga audit negara (termasuk BPKP dan BPK) sengaja didesain agar tidak masuk, atau dihalang-halangi masuk untuk mencampuri semua urusan state-corporate, bukahkan kita sudah sejak dulu terlibat dalam ekonomi pasar?

Bukankah Bung Ossy dan Ito juga penganut paham ekonomi pasar seperti Boediono?Atau memang kita sudah harus melakukan koreksi terhadap paham tersebut? Atau, kembali lagi ke argumentasi klasik, it's just a matter of choice kata para ekonom.

Komentar

Irfin Afifudin mengatakan…
ulasan yg menarik pak.

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke