Langsung ke konten utama

"Mengambil Pelajaran dari Pengadaan TI di KPU"

Dari sebuah diskusi tentang pengadaan TI KPU di sebuah milis, perkenankan saya untuk menyampaikan beberapa catatan yang dapat kita ambil sebagai pembelajaran. Namun, dalam tulisan ini saya memfokuskan pada hal yang terkait dengan regulasi pengadaan, sesuai dengan latar belakang saya sebagai pemegang sertifikasi ahli pengadaan dan mantan auditor, dan juga pendamping dalam beberapa proses pengadaan TI instansi pemerintah. Saya tidak bermaksud tulisan ini menjadi polemik atau memojokkan salah satu pihak tertentu saja, tetapi tulisan ini dimaksudkan untuk pembelajaran kita bersama ke depan. .

Pembelajaran pertama, tidaklah mesti suatu pengadaan itu harus dilaksanakan secara lelang terbuka. Akan tetapi, dalam pengadaan TI sangat penting bagi panitia pengadaan bersama user-nya untuk terlebih dahulu melakukan kajian terhadap barang/jasa yang akan diadakan. Hasil kajian ini akan menentukan apakah suatu pengadaan layaknya dilaksanakan dengan cara lelang terbuka, lelang terbatas, pemilihan langsung, penujukan langsung, atau malah swakelola. Ketika akhirnya sebuah pengadaan diputuskan menggunakan lelang terbuka, maka setiap pihak harus menjaga agar suatu pengadaan tidak memihak pada suatu produk atau teknologi tertentu.

Jika karena suatu kebutuhan, yang sebelumnya telah melalui kajian, memang suatu produk atau teknologi tertentu ternyata harus digunakan dan hanya ada satu pabrikan atau penyedia terhadap produk tersebut atau patennya dimiliki oleh satu pihak tertentu, dan apalagi jika benar-benar produk bangsa Indonesia sendiri--produk dalam negeri--maka pengadaan dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap produk atau teknologi tersebut, yang dipisahkan pengadaannya dari barang/jasa lainnya yang memang mesti dilakukan dengan lelang terbuka. Pada mekanisme penujukkan langsung ini harus dilakukan negosiasi dengan satu pihak, yaitu pabrikan atau penyedia tersebut sehingga diperoleh suatu harga yang wajar yang tidak merugikan keuangan negara.

Dalam hal ternyata berdasarkan kajian terdapat beberapa pabrikan atau penyedia yang dapat menyediakan produk atau teknologi tersebut, tetapi jumlahnya terbatas [tidak banyak], maka dilakukan lelang terbatas. Namun, lelang terbatas tetap memberi peluang kepada pihak lain untuk melakukan penawaran dan berpartisipasi dalam proses lelang terbatas tersebut untuk mengantisipasi jika kebetulan ada penyedia yang terlewat dikaji kemampuannya pada waktu proses kajian.

Jika karena sesuatu hal satu peserta dalam proses lelang ternyata memandang adanya suatu konflik kepentingan pada dirinya, maka ia harus mengungkapkan konflik kepentingan tersebut. Panitia pengadaanlah yang memutuskan apakah konflik kepentingan itu akan mempengaruhi secara signifikan persaingan yang sehat dalam proses selanjutnya.

Setiap pihak mestinya tidak lagi memandang secara sederhana suatu konflik kepentingan. Sebab, dengan semakin cerdasnya masyarakat dan gencarnya pemberantasan korupsi, maka setiap proses lelang di negeri ini, secara sadar atau tidak, telah diamati langsung oleh masyarakat, baik masyarakat yang merupakan pegawai suatu instansi pemerintah atau masyarakat umum yang kebetulan terkait aktivitasnya dengan instansi tersebut.

Suatu konflik kepentingan yang tidak dideklarasikan sejak awal, biasanya akan memunculkan "surat kaleng" seperti halnya yang dipublikasikan oleh Komunitas Peduli... Surat kaleng ini jika tidak ditangani secara tepat bisa menjadi blundering bagi banyak pihak. Sebab, banyak auditor atau penyidik di Indonesia yang masih bekerja hanya berdasarkan surat kaleng tersebut. Audit atau penyidikan bisa menjadi bias dan terfokus pada isi surat kaleng tersebut sebagai sebuah
case. Akhirnya, bisa terjadi suatu kondisi di mana suatu pihak telah merasa bekerja dengan baik, malah berurusan dengan kasus hukum di masa-masa akhirnya, yang ini tidak hanya melanda pejabat/pegawai instansi pemerintah, tetapi juga pihak swasta.

Kedua, ketika kita membuat suatu analisis yang dipublikasikan ke media massa secara terbuka, maka kita harus berhati-hati sekali. Apalagi jika hal itu menyangkut nama sebuah lembaga negara. Suatu analisis akan membentuk opini dan persepsi masyarakat akan sesuatu hal. Karena itu, lembaga yang merasa telah dipersepsikan negatif oleh analis tersebut sangat perlu untuk mengimbanginya, yaitu dengan memberikan klarifikasi dan bantahan seperlunya jika yang
dipersepsikan tersebut tidak benar. Untuk kepentingan ini, unit yang menangani complaint di setiap lembaga sangat perlu dioptimalkan.

Ketiga, dalam suatu penugasan sangat penting untuk memahami posisinya masing-masing. Setiap pihak mestinya harus saling menghormati posisi pihak lain terkait dengan profesionalisme masing-masing. Memang kita akan sering mengalami benturan dalam suatu penugasan atau pekerjaan. Namun, di situlah sebuah due process. Sepanjang kita sudah terlibat dalam due process tersebut, maka kita harus mengikuti keputusan apapun yang dihasilkan oleh due process tersebut.

Demikian catatan dari saya. Jika ada yang akan menambahkan, terutama untuk kepentingan pembelajaran bagi diri saya, silahkan ditambahkan. Silahkan dikoreksi. Saya akan terus open minded.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke