Langsung ke konten utama

Manajemen Proyek TI Instansi Pemerintah

Selama ini sering saya temui bahwa jika sebuah proses pengadaan di instansi pemerintah telah selesai, maka selesailah semua urusan. Seolah-olah bahwa keberhasilan pengadaan diukur hanya sampai terpilihnya penyedia barang/jasa. Padahal, itu barulah awal dari sebuah kerja yang melelahkan.

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sebagai penanggung-jawab pengadaan, sering mengabaikan pengendalian pekerjaan penyedia barang/jasa. Seolah-olah, bahwa penyedia yang terpilih--karena telah melalui proses yang baik-- adalah yang qualified sehingga PPK sering hanya mengandalkan penyedia dalam proses implementasinya. Padahal, keberhasilan sebuah pengadaan sangat tergantung kepada seberapa jauh PPK mampu mengendalikan pekerjaan penyedia.

Dalam pengadaan yang terkait dengan teknologi informasi, jelas sekali kemampuan PPK dalam memonitor dan mengendalikan pekerjaan penyedia sangat penting. Banyak kegagalan implementasi pengadaan yang terkait dengan teknologi informasi di instansi pemerintah karena faktor ini.

Saya melihat, sering terjadi salah kaprah bahwa pengadaan yang terkait dengan teknologi informasi hanya memperhatikan perangkat  di-supply. Padahal suatu perangkat teknologi informasi yang tidak didukung oleh sistemnya akan menjadi seperti tubuh yang tanpa ruh.

Untuk itu, bagi Anda para PPK, monitor dan kendalikanlah pekerjaan penyedia dengan baik. Jika karena masalah kompetensi Anda tidak dapat melaksanakan kegiatan tersebut, gunakanlah ahlinya, sebagai konsultan pengawas.

Sekarang ini, saya menemui 2 project yang bermasalah karena lemahnya manajemen proyek TI. Bahkan, ini terjadi di sebuah instansi yang sangat stratejik. Semoga ini tidak terjadi dengan Anda semua. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke