Langsung ke konten utama

Pilih Diperiksa KPK, Polisi, atau Jaksa?

Banyak orang yang memandang KPK sebagai badan yang mengerikan. Namun, menurut saya, sebenarnya, kalau seorang tersangka ternyata diperiksa KPK justru tidak terlalu masalah. Sebab, KPK sudah lebih terlatih, dan tahu mana yang layak disebut tindak pidana korupsi dan mana yang bukan. Kemudian, kalau seorang tersangka diperiksa oleh KPK, biasanya, urusannya akan cepat tuntas dan tidak berlarut-larut. Anda akan dituntut atau akhirnya tidat dituntut. Hampir tidak ada ceritanya tersangka KPK "dipeloroti" hartanya oleh aparat KPK.

Yang repot, menurut saya, adalah ketika seorang tersangka diperiksa oleh aparat kejaksaan. Sekarang ini masing-masing Kejari diberi target 3 penyelidikan, 2 penyidikan, dan 1 penuntutan. Di tingkat pusat, Kejagung juga telah membentuk task force khusus yang mendalami dugaan korupsi di bidang teknologi informasi. Jadi, sekarang ini, sedikit saja ada laporan atau dugaan korupsi--termasuk korupsi di bidang pengadaan teknologi informasi--aparat kejaksaan akan dengan "senang hati" memproses dan menangkap para tersangka untuk memenuhi target tersebut.

Bayangkan lagi, kalau seorang tersangka diperiksa oleh aparat kepolisian. Banyak keluhan, tersangka korupsi yang diperiksa oleh aparat kepolisian ternyata diperiksa oleh petugas yang hanya berpangkat sersan dan lulusan sekolah menengah. Bisa dibayangkan kesenjangan yang terjadi, di mana tersangka banyak yang sudah berpendidikan sarjana dan pangkat kepegawaiannya tinggi. Bisa dibayangkan pula bagaimana jengkelnya mereka yang kebetulan ternyata diperiksa aparat kepolisian tersebut, bukan oleh KPK.

Jadi, bagi Anda yang sudah menjadi tersangka, bersyukurlah kalau ternyata Anda diperiksa KPK!

Foto: http://english.vietnamnet.vn

-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke