Langsung ke konten utama

Ketika Etika Harus Ditegakkan

Tahun ini merupakan tahun yang terberat bagi mereka yang sangat menggantungkan bisnisnya dari belanja anggaran negara. Selain karena tahun ini banyak pegawai pemerintah yang enggan ditunjuk menjadi panitia pengadaan atau pejabat pembuat komitmen, banyak sekali hambatan yang menghadang proses pengadaan instansi pemerintah di tahun ini.

Kita tentu tahu ketika masih di awal-awal tahun, ketika DIPA pun baru turun, kita sudah dilanda oleh gejolak naiknya harga minyak dunia. Ternyata, gejolak harga minyak itu ditanggapi oleh Menteri Keuangan dengan memberi edaran kepada instansi pemerintah pusat untuk menunda penggunaan anggaran dan melakukan pencadangan sekitar 15% anggaran untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia. Tanpa disangka-sangka, pemerintah akhirnya harus melakukan "pembintangan" terhadap mata anggaran tertentu, termasuk beberapa anggaran belanja modal di instansi pemerintah.

Tindakan "pembintangan" ini tentu akan berakibat tidak adanya inisiatif kegiatan pengadaan di instansi pemerintah. Bahkan, kemudian terdapat sebuah surat dari Direktur Jenderal Anggaran yang meminta agar proses pengadaan pada anggaran belanja modal yang dibintangi untuk dihentikan proses pengadaannya, termasuk tentunya persiapannya. Tentu ini semakin membingungkan aparat pemerintah, terutama panitia pengadaan.

Ketika akhirnya beberapa belanja modal boleh direalisasikan, kita bisa memperkirakan apa konsekuensinya terhadap lingkungan instansi pemerintah. Banyak instansi pemerintah yang akhirnya tidak siap untuk merealisasikan anggaran pengadaannya. Karenanya, tidak aneh jika banyak instansi pemerintah yang akhirnya melakukan kegiatan pengadaan dengan persiapan seadanya. Padahal, ini bisa membahayakan diri mereka sendiri dan juga merugikan negara.

***

Namun, saya tidak bermaksud untuk mengulas hal ini dari sisi instansi pemerintah. Yang saya akan ulas kali ini adalah pengaruh keadaan tersebut terhadap kegiatan belanja publik di dunia bisnis. Kita tahu bahwa belanja publik adalah salah satu sumber utama yang menggerakkan perekonomian nasional. Ini tidak hanya berlaku di negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga negara maju.

Kegiatan bisnis sangat tergantung seberapa besar alokasi belanja pemerintah untuk belanja modal. Kegiatan bisnis ini akan menentukan apakah kawan-kawan kita di sektor swasta akan tumbuh atau malah tumbang dalam tahun ini.
Di sini, saya akan menyoroti lebih khusus lagi pada bisnis teknologi informasi. Dengan kekacauan proses perealisasian anggaran tahun 2008 ini, bisa dibayangkan betapa kusutnya bisnis teknologi informasi tahun ini, terutama bagi mereka yang sangat menggantungkan bisnisnya pada belanja pemerintah.

Dalam kekacauan ini, belakangan ini saya melihat etika sudah mulai diabaikan. Sebab, masing-masing kawan kita di dunia swasta akan selalu diukur kinerjanya secara ketat. Bagi prinsipal teknologi informasi, seperti Oracle, Microsoft, IBM, HP, Juniper, ataupun Cisco, biasanya kinerja mereka diukur dengan seberapa besar para personilnya berhasil mengejar kuota penjualan produk teknologi informasi perusahaan mereka.

Sayangnya, karena dikejar kuota dalam kesemrawutan proses perealisasian anggaran pemerintah tahun ini, para kawan kita tersebut sebenarnya yang paling tahu banyak tentang dokumen pengadaan TI mana saja yang tidak layak untuk di-bid. Namun, anehnya, mereka tetap mem-bid dengan konsekuensi apapun. Bagi mereka, yang penting kuota tercapai. Entah nanti produknya terpakai atau tidak, ternyata tidak sinkron atau tidak, mereka sudah tidak peduli lagi. Yang penting labrak dulu.

Namun, saya menghimbau kepada teman-teman saya di dunia TI, terutama yang ada di prinsipal. Jika Anda menemui sebuah dokumen pengadaan yang tidak layak di-bid pada suatu pengadaan, selayaknya Anda mengedukasi partner bisnis Anda dan panitia pengadaan instansi pemerintah terlebih dahulu. Sebab, bisa jadi dokumen pengadaan tersebut lemah karena memang terburu-buru dibuat, terkait dengan amburadulnya proses perealisasian anggaran tahun ini, atau memang karena kerasnya politik internal di dalam.

Dalam pandangan saya, semua orang pasti punya nurani untuk bersih. Nurani untuk mengetahui mana yang benar, mana yang salah. Setiap orang juga punya pilihan. Jika ini terjadi pada Anda, dalam posisi tertentu, Anda mestinya bisa mundur, tidak terus ikut bid yang isi dokumen pengadaannya tidak jelas, duplikasi di sana-sini, atau itemnya tidak sinkron satu dengan lainnya.

Dalam sebuah profesi, misalnya auditor, kita diperkenankan untuk tidak terlibat dalam suatu hal yang kemungkinan risikonya tinggi. Kita berhak menolak penugasan ketika kita tidak bisa lagi mengantisipasi risiko tersebut. Pilihan mundur adalah yang paling tepat. Dengan Anda mundur, maka itu telah memberikan pembelajaran kepada pihak lain, sesuatu hal ada yang salah. Semoga dengan ini, pihak lain itu bisa belajar untuk melakukan perbaikan dan juga semakin beretika, seperti yang Anda contohkan.

Dan juga, semoga sikap Anda ini bisa menjadi amal Anda di bulan Ramadhan ini.
-

Komentar

Anonim mengatakan…
Kata "Etika" jika ditilik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, "ethikos",
berarti "timbul dari kebiasaan". kalo di gali lebih dalam lagi, kebiasaan yang timbul
dalam masyarakat juga dapat menjadi cikal bakal adat istiadat (Menurut Jalaluddin Tunsam
(seorang yang berkebangsaan Arab yang tinggal di Aceh dalam tulisannya pada tahun 1660)
"Adat" berasal dari bahasa Arab "Adah" yang berarti "kebiasaan-kebiasaan dari masyarakat").

Seandainya jika negara kita di bangun bedasarkan etika atau kebiasaan yang berakar pada
tingkah laku yang kurang terpuji bukankah itu dapat menjadi ETIKA yang salah dimana dengan
sendirinya akan mempengaruhi adat istiadat yang di amini segala lapisan masyarakat
sehingga mungkin kemudian hari bisa timbul negara yang lalim dan tidak lagi membedakan
mana yang benar atau salah.

apakah etika yang salah dapat menjadi acuan..?
ketika nurani bisa dan mampu membedakan mana yang salah dan benar akan tetapi "etika" menutupinya
dengan mengatakan bahwa hal tersebut "kebiasaan yang umum berlaku di suatu kalangan" maka selanjutnya
menjadi kebiasaan yang sama terus berlangsung dan berulang ulang hingga menjadi "Etika" kemudian akhirnya
menjadi adat lalu dibudayakan dalam lingkungan yang menganutnya maka rusaklah tatanan.

perubahan paradigma selama kurun waktu sewindu terakhir ini menunjukkan betapa "etika" banyak mengankangi
hati nurani dan akal sehat dimana ketika "etika lalu" masih banyak digunakan dalam menghadapi perkembangan
saat ini. berbagai istilah yang muncul dalam rangka memacu kerangka pikir ke dalam pelaksanaan perbaikan
"Etika lalu" menjadi kebiasaan baru yang mengedepankan hati nurani dan keseimbangan "check and balance"
terhadap setiap "ETIKA" yang dianut dengan harapan sedikit demi sedikit membuang kebiasaaan lama dan
memperbaiki kesadaran pada setiap insan yang terlibat di dalamnya (self restoration).

************

ketika terjadi kesemrautan dalam perealisasian anggaran pemerintah dalam belanja modal maka
yang menjadi pertanyaan adalah bagai mana dengan sektor real yang notabene mejadi "konsumsi"
utama dari penggunaan anggaran tersebut. apakah mereka harus berhenti berdagang atau mereka
harus berhenti mempercayai sektor public yang selama ini 50 tahun terakhir ini banyak di
dominasi para pemimpin yang patut dipertanyakan. Berbagai masukkan untuk perbaikan telah disampaikan
salah satu di point 3 dan 4 dalam tulisan "REFORMASI BIROKRASI UNTUK PERBAIKAN IKLIM USAHA" yang
di sampaikan wakil ketua kadin (Hariyadi B. Sukamdani - ref 5) menunjukan kian hari etika yang
di terapkan semakin menunjukan akar kebiasaan yang perlu di perbaiki dan di tingkatkan agar tidak
menjadi beban masalah di masa datang.

kelemahan sektor perekonomian yang disebabkan berbagai faktor (multi dimensi crisis) hendaknya
menjadi dorongan untuk memperbaiki "proses" atau mekanisme dari berbagai indikator yang mulai
di anut pada anggaran berbasis kinerja dimana tindak lanjutnya adalah "memperbaiki akar permasalahan"
dan tidak hanya membebankannya pada mata rantai terendah selanjutnya yaitu sektor real sebagai "konsumen"
anggaran belanja modal tadi. Sehingga ketika kebutuhan pencapaian target dari sektor real dalam hal ini
industri IT tidak memberikan hasil maksimal dalam kondisi "kesemrautan" maka selanjutnya yang patut
di tanyakan mengapa masih di perbolehkan mereka nge"bid" karena dari dimensi time,money, and skill
saja hal tersebut sudah tidak memungkinkan. maka proses kejar target ini terjadi karena demikianlah
mata rantai proses swasta bergerak terus dan menyesuaikan dengan kondisi meski semrawut.

sebaiknya kedepan perlu disiapkan langkah-langkah kontigensi seandainya ada kebijakan "semrawut" sehinga tidak
menjadi beban pada mata rantai proses selanjutnya meskipun tidak menutupi 100% akan tetapi dapat mengurangi effect
kerusakan yang timbul dan menjadi masukkan dalam proses selanjutnya. Ataupun dengan mengukurnya melalui pembobotan
yang berimbang dimana jika memang keputusan yang ada belum didukung oleh kondisi yang memadai maka penurunan nilai
keputusan tersebut di ikuti oleh penurunan bobot penilaian indikator yang kemudian di bebankan pada anggaran belanja
selanjutnya(meski bukan anggaran berjalan) atau mekanisme lain sehingga juga dapat menjadi tolak ukur putusan yang diambil.



Sumber
------
1.http://id.wikipedia.org/wiki/Etika
2.http://id.wikipedia.org/wiki/Adat
3.http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
4.http://id.wikipedia.org/wiki/Etimologi
5.http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&ct=res&cd=4&url=http%3A%2F%2Faparaturnegara.bappenas.go.id%2Fdata%

2Fseminar%2Fkadin.doc&ei=0SPQSL2YCI-m6gOfjuXFDw&usg=AFQjCNEHb64a8YZKETFFvwaaw_cexT1X_w&sig2=XIYbFrDRoiRakor75_5SSA
6.http://id.wikipedia.org/wiki/Pengambilan_keputusan
7.http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/frame_1/frame_index_2.htm (p.11)

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke