Langsung ke konten utama

Sebuah Paradox Anggaran Berbasis Kinerja

Di kantor saya, Pak Sarjono dari Jogjakarta memposting sebuah tulisan orisinal di Intranet kami yang mengundang banyak komentar. Anda bisa juga menikmati case study ini. Jangan lupa, kalau akan digunakan, ungkapkan sumbernya.

GUGATAN SEORANG OFFICE BOY (OB)
TERHADAP ANGGARAN BERBASIS KINERJA

Pak Adam, seorang akuntan senior pada Pewakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah, menerima keluhan dari Dwi, seorang Office Boy (OB) di kantor yang sama. Si-OB merasa diperlakukan secara tidak adil oleh Pak Muji, seorang Ketua Tim yang baru ditempatkan pada bidang APD. “Pak Adam, saya merasa diperlakukan tidak adil. Saya dirugikan dengan penerapan anggaran berbasis kinerja”. “Loh, kok bisa gitu? Gimana ceritanya?, tanya Pak Adam. Kemudian si OB pun bercerita :

Begini, pak, saya diminta oleh Pak Muji untuk membeli tiket Kereta Api Kamandanu Jurusan Semarang-Jakarta untuk keberangkatan hari Minggu, 13 Juli 2008 pukul 21.00 WIB. Pak Muji ada tugas mendadak untuk menghadiri Rapat di Kantor BPKP Pusat pada hari Senin, 14 Juli 2008.

“Mas Dwi, tolong saya dibelikan tiket Kereta Api Kamandanu Jurusan Semarang-Jakarta untuk keberangkatan hari Minggu, 13 Juli 2008 pukul 21.00 WIB. Saya minta posisi tempat duduk agak di tengah, jangan di belakang”., kata Pak Muji. “Ini uangnya Rp 300 ribu. Harga tiketnya Rp 275 ribu, buat transport PP dari kantor ke stasiun 10 ribu, trus buat kamu tak kasih uang rokok 15 ribu”, tambahnya. “Ya pak, habis sholat jumlat nanti saya langsung berangkat”, jawab Dwi sambil menerima uang dari Pak Muji.

Usai sholat Jum’at, si-OB pun segera berangkat ke Stasiun Tawang naik bus kota. Sesampainya di Stasiun Tawang, ternyata sudah banyak orang yang antri untuk membeli tiket. Kebetulan minggu ini adalah minggu terakhir liburan sekolah, jadi penumpang yang ke Jakarta juga lumayan banyak. Melihat situasi ini, si-OB pun cepat-cepat antri di depan loket. Saat itu di papan informasi terlihat sisa kursi yang tersedia tinggal 20 tempat duduk, sementara jumlah calon pembeli yang berada dalam antrian sekitar 15 orang. Si-OB pun bergabung dalam antrian di depan loket. Dia pun merasa yakin bisa mendapatkan tiket KA sesuai pesanan Pak Muji. Lumayan nih, dapat tambahan 15 ribu, katanya dalam hati.

Setelah menunggu beberapa lama, tinggal 3 orang yang masih antri, tiba-tiba petugas informasi PT. KAI mengumumkan bahwa tiket KA Kamandanu untuk keberangkatan hari Minggu, 13 Juli 2008 telah habis. PT. KAI tidak melayani penjualan tiket tanpa tempat duduk. Mendengar hal ini, si-OB pun penasaran dan menanyakan kepada petugas loket. “Pak, tiket Kamandanu untuk hari Minggu, 13 Juli 2008 sudah habis Pak? Kan barusan masih ada 20 tempat duduk, sementara yang beli disini cuma 15-an orang dan belinya juga gak ada yang dobel. Yang lainnya kemana pak?”. Dengan sigap petugas loket pun menjawab, “Betul pak, tiketnya memang sudah habis terjual. Kita pake system on-line, jadi dari lain kota misalnya Pekalongan atau Tegal pun bisa langsung beli. Jadi bisa aja tadi sisa tempat duduk 20 kursi, sementara yang beli disini cuma 15, yang lain dibeli di loket online yang lainnya.” Mendengar jawaban ini si-OB pun hanya bisa pasrah. “Waduh gimana nih? Ntar pasti bakalan diomelin sama pak Muji nih!”, kata si-OB. “Gak papa lah diomelin, yang penting aku kan bakalan dapat tambahan 15 ribu”, katanya. Kemudian bergegaslah si-OB ini kembali ke kantor.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit dengan bus kota, sampailah si-OB ini di kantor Perwakilan BPKP Prov. Jateng. Kemudian dia pun segera menemui Pak Muji. Kata si-OB : “Pak Muji, mohon maaf tiketnya sudah habis. Tadi saya udah ngantri tapi tetep gak kebagian tiket. Lagi musim liburan pak, jadi penumpang KA membludak. Ini uang bapak saya kembalikan Rp 250 ribu”.

Pak Muji pun segera menjawab : ”Lho, kok cuma Rp 250 ribu? Tadi kan aku ngasih uang Rp 300 ribu? Tiketnya kan gak dapet, ya harus dikembalikan semua dong!”. Si-OB pun bingung dengan sikap pak Muji. “Lho, kok gitu pak? Saya kan udah capek-capek ke Stasiun, pake ongkos bus juga. Mosok usaha saya gak dianggap?”, kata si-OB. Pak Muji pun menjawab : “Dwi, sekarang ini jamannya anggaran berbasis kinerja. Segala sesuatu diukur dari kinerjanya. Ngukurnya paling enggak dari output, dan kalau bisa dari outcome”. Dalam kasus ini, output dari kegiatanmu mestinya ya Tiket KA yang kupesan. Outcomenya, saya bisa ke Jakarta menghadiri rapat di Kantor BPKP Pusat. Jadi dalam kasus ini, kinerjamu saya anggap nol, karena gak dapat tiket yang kupesan. Konsekuensinya yang uang yang tadi aku kasihkan ke kamu harus dikembalikan semua.”

Mendengar jawaban Pak Muji, si-OB pun jadi tambah bingung, kok jadi gini sih? Saya udah capek-capek ke stasiun, gak dapat uang malah disuruh mengganti uang yang udah telanjur dipake buat ongkos bus kota. Uang rokok yang dijanjikan pun diminta lagi. Gimana nih?

Setelah terdiam beberapa saat, si-OB pun teringat ucapan Pak Adam saat khotbah jum’at tadi. Pak Adam mengatakan bahwa Allah SWT menilai seseorang dari ikhtiar (usaha) yang dilakukan untuk mencapai tujuannya, jadi bukan semata-mata dari hasil yang dicapainya. Ibaratnya percuma saja seorang anak SMA lulus UAN dengan nilai memuaskan, apabila si anak ini melakukan kecurangan dalam ujiannya. Allah lebih menghargai anak lain yang mengerjakan ujian dengan jujur, meskipun lulus UAN dengan nilai pas-pasan. Teringat hal itu, si-OB pun mengatakan : “Pak Muji, saya tidak sependapat dengan bapak. Saya hanya mau mengembalikan uang Rp 250 ribu. Yang 10 ribu kan udah dipake buat ongkos bus, dan yang 15 ribu kan hak atas jerih payah saya karena saya udah berusaha untuk ke stasiun dan mengantri di loket, meskipun akhirnya saya gak dapat tiket. Mosok bapak gak menghargai usaha saya?”.

Setelah beberapa kali beradu alasan, rupanya diantara pak Muji dan si-OB gak ada titik temu. Mereka pun sepakat untuk meminta pendapat pihak lain yang dianggap lebih kompeten. Si-OB mengusulkan untuk meminta pendapat Pak Adam, karena beliau merupakan akuntan yang cukup senior sekaligus seorang ustad yang sering mengisi khotbah di Masjid kantor. Pak Muji pun menyetujui usulan si-OB dan kemudian keduanya segera menemui pak Adam.
Setelah mendengar cerita dan alasan dari kedua pihak, Pak Adam pun berusaha berpikir keras untuk memberikan pendapat terbaiknya untuk mengatasi perbedaan pendapat antar Pak Muji dan si-OB. Sebagai seorang akuntan senior, dia paham bahwa dalam anggaran berbasis kinerja, kinerja suatu kegiatan setidaknya diukur dari output dari kegiatan itu. Dalam hal ini, dia sependapat dengan pak Muji bahwa output dari kegiatan yang dilakukan oleh si-OB adalah selembar tiket KA sesuai pesanan pak Muji. Kalau gak ada tiket, berarti outputnya gak ada. Jadi bisa dibilang kegiatan yang dilakukan adalah gagal alias kinerjanya nol. Kalau outputnya gak ada, outcomenya pun pasti gak akan tercapai, jadi jelas memang kinerja kegiatan yang dilakukan adalah nol.

Disisi lain, Pak Adam juga masih jelas teringat ucapannya saat khotbah jumat siang ini : “Allah menilai seseorang bukan dari apa yang dicapainya, tetapi justru dari ikhtiarnya dalam mencapai tujuannya. Ajaran agama Islam sangat menghargai “proses”, bukan “hasil akhir”. Sebagai contoh, nilai memuaskan dalam hasil UAN yang diperolah seorang anak, gak ada artinya jika dalam mengerjakan UAN, si anak tersebut melakukan kecurangan (misalnya menyontek). Allah lebih menghargai nilai UAN yang pas-pasan tetapi diperoleh dengan cara yang jujur. Pak Adam pun sangat yakin bahwa ajaran agama lain pun akan mengajarkan hal yang sama.

Setelah terdiam beberapa saat, Pak Adam justru merasakan adanya pertentangan dalam dirinya. Dalam benak Pak Adam justru muncul beberapa pertanyaan :
1. Adakah yang salah dengan anggaran berbasis kinerja? Kenapa variable “proses” luput dari penilaian?
2. Apakah anggaran berbasis kinerja tidak sejalan dengan ajaran agama?
3. Apa pendapat yang harus saya berikan terkait kasus pak Muji dan si-OB?

Setelah berpikir cukup lama, Pak Adam pun belum bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Adakah diantara para milister berkenan untuk membantu Pak Adam?

Komentar

Unknown mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke