Langsung ke konten utama

Sebuah Cerita untuk Sebuah Leadership yang Baik

Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji: "Jangan Pernah Setori Saya"


Pikiran-Rakyat, 8 Februari 2008

RABU (30/1) lalu, Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc., mengumpulkan seluruh perwira di Satuan Lalu Lintas mulai tingkat polres hingga polda. Para perwira Satlantas itu datang ke Mapolda Jabar sejak pagi karena diperintahkan demikian. Pertemuan itu baru dimulai pukul 16.00 WIB.

Dalam rapat itu, kapolda hanya berbicara tidak lebih dari 10 menit. Meski dilontarkan dengan santai, tetapi isi perintahnya "galak" dan "menyentak". Saking "galaknya", anggota Satlantas harus ditanya dua kali tentang kesiapan mereka menjalani perintah tersebut.

Isi perintah itu ialah tidak ada lagi pungli di Satlantas, baik di lapangan (tilang) maupun di kantor (pelayanan SIM, STNK, BPKB, dan lainnya). "Tidak perlu ada lagi setoran-setoran. Tidak perlu ingin kaya. Dari gaji sudah cukup. Kalau ingin kaya jangan jadi polisi, tetapi pengusaha. Ingat, kita ini pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya, malah ingin dilayani," tutur pria kelahiran Pagaralam, Sumatera Selatan itu.

Pada akhir acara, seluruh perwira Satlantas yang hadir, mulai dari pangkat AKP hingga Kombespol, diminta menandatangani pakta kesepakatan bersama. Isi kesepakatan itu pada intinya ialah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang tepat waktu, tepat mutu, dan tepat biaya.

Susno memberi waktu tujuh hari bagi anggotanya untuk berbenah, menyiapkan, dan membersihkan diri dari pungli. "Kalau minggu depan masih ada yang nakal, saatnya main copot-copotan jabatan," kata suami dari Ny. Herawati itu.

Pernyataan Susno itu menyiratkan, selama ini ada praktik pungli di lingkungan kepolisian. Hasil pungli, secara terorganisasi, mengalir ke pimpinan teratas. Genderang perang melawan pungli yang ditabuh Susno tidak lepas dari perjalanan hidupnya sejak lahir hingga menjabat Wakil Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menggiring para koruptor ke jeruji besi.

Berikut petikan wawancara wartawan "PR" Satrya Graha dan Dedy Suhaeri dengan pria yang telah berkeliling ke-90 negara lebih untuk belajar menguak korupsi.

Apa yang membuat Anda begitu antusias memberantas pungli atau korupsi?

Saya anak ke-2 dari 8 bersaudara. Ayah saya, Pak Duadji, bekerja sebagai seorang supir. Ibu saya, Siti Amah pedagang kecil-kecilan. Terbayang akan betapa sulitnya membiayai 8 anak dengan penghasilan yang pas-pasan. Oleh karena itu, saat lulus SMA saya memilih ke Akpol karena gratis.

Nah, waktu sekolah, kira-kira SMP, saya punya banyak teman. Beberapa di antaranya dari kalangan orang kaya, seperti anak pejabat. Sepertinya, enak sekali mereka ya, bisa beli ini-itu dari uang rakyat. Sejak itulah, terpatri di benak saya, ada yang tidak benar di negara ini dengan kemakmuran yang dimiliki oleh para pejabat. Maka, saya sangat bersyukur bisa berperan memberantas korupsi saat mengabdi di PPATK. Itulah tugas saya yang paling berkesan selama ini karena bisa menjebloskan menteri, mantan menteri, dan direktur BUMN, yang memakan uang rakyat. Ada kepuasan batin.

Pengalaman di PPATK itukah yang membuat Anda menabuh genderang perang melawan pungli saat masuk ke Polda Jabar?

Seperti itulah. Akan tetapi, harusnya diubah, bukan pungli. Kalau pungli, terkesan perbuatan itu ketercelaannya kecil. Yang benar adalah korupsi. Pungli adalah korupsi. Mengapa korupsi yang saya usung? Karena sejak zaman Majapahit dulu, korupsi itu salah. Apalagi, jika aparat hukum yang korup. Bagaimana kita, sebagai aparat hukum, bisa memberantas korupsi kalau kitanya sendiri korupsi.

Oleh karena itu, sebagai tahap awal, saya "bersihkan" dulu di dalam, baru membersihkan yang di luar. Bagaimana saya mau menangkap bupati, direktur, dan lain-lain kalau di dalamnya belum bersih dari korupsi. Kalau aparatnya korupsi, tamatlah republik ini.

Tahap awalnya biasa saja. Umumkan, lalu periksa ke atasan tertingginya, yaitu saya, selanjutnya keluarga saya. Setelah itu pejabat-pejabat di Polda. Baru kemudian ke kapolwil, kapolres, dan seterusnya.

Kenapa harus dimulai dari saya. Karena saya pimpinan tertinggi di Polda Jabar ini. Ingat, memberantas korupsi bukan dimulai dari polisi yang bertugas di jalan raya. Kalau di pemerintah, bukan dari tukang ketik, atau petugas kecamatan yang melayani pembuatan akte kelahiran. Akan tetapi, dimulai dari pimpinan tertinggi di kantor itu.

Artinya, saya sebagai pimpinan jangan korupsi. Bentuknya macam-macam, seperti mendapat setoran dari bawahan, setoran dari pengusaha-pengusaha, mengambil jatah bensin bawahan, atau mengambil anggaran anggota saya. Oleh karena itu, saya tidak akan minta duit dari dirlantas, direskrim, atau kapolwil. Tidak juga mengambil anggaran mereka, atau uang bensin mereka.

Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.

Untuk program "bersih-bersih" itu, kira-kira Anda punya target sampai kapan?

Secepatnya. Ya, dua-tiga bulan. Kalau tidak segera, bagaimana kita menunjukkan kinerja kepada rakyat. Kita tidak perlu malu dan takut nama kita jatuh kalau bersih-bersih dari korupsi di dalam. Kita tidak akan jatuh merek dengan menangkap seorang kolonel polisi atau polisi berbintang yang korupsi. Kalau perlu, tulis gede-gede itu di koran.

Dan, anggota saya yang ketahuan korupsi, akan saya pecat. Jika memang saya harus kehabisan anggota saya di Polda Jabar karena semuanya saya pecat gara-gara korupsi, kenapa tidak. Apa yang harus ditakutkan.

Saya yakin, rakyat pasti senang kalau polisi bebas dari korupsi. Polisi itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Saya justru merasa lebih tidak terhormat kalau memimpin kesatuan yang anggotanya banyak korupsi.

Berbicara soal penanganan kasus korupsi. Betulkah mengusut kasus korupsi bagaikan mengurai benang kusut. Pasalnya, para penyidik tipikor Polda Jabar mengaku kesulitan mengungkap kasus korupsi dengan alasan perlu kajian yang mendalam atas bukti-bukti sehingga memakan waktu lama?

Hahaha.... (Susno tertawa lepas). Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan lainnya.

Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja. Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat. Harus diakui, itu (memberantas korupsi) memang susah karena korupsi itu nikmat. Apalagi, saat memegang sebuah jabatan.

Contohnya saja posisi kapolda. Siapa sih yang tidak mau jadi kapolda. Ibaratnya, tinggal batuk, apa yang kita inginkan langsung datang. Pertanyaannya, mau atau tidak terjerumus di dalamnya (korupsi). Kalau saya, jelas tidak. Itu hanya kenikmatan duniawi sesaat saja. Untuk apa sih duit banyak-banyak hingga tidak habis tujuh turunan. Gaji saya saja sekarang sudah besar. Mobil dikasih. Bensin gratis. Ada uang tunjangan ini-itu. Sudah lebih dari cukup. Anak-anak saya juga sudah kerja semua. Bahkan, gajinya lebih besar dari saya.

Lalu, langkah apa yang akan Anda buat agar Polda Jabar giat mengungkap kasus korupsi?

Seperti saya katakan tadi, bersih-bersih dulu di dalam. Jika sudah bersih di dalam, baru membersihkan di luar. Dan kasus korupsi akan menjadi salah satu target kami. Kami akan genjot pengungkapan kasus korupsi biar Jabar bergetar.

Untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan PPATK untuk mengusut kasus-kasus korupsi di Jabar yang melibatkan pejabat publik. PPATK pasti mau membantu asalkan anggota saya bersih dan bisa dipercaya. Kita juga bisa diberi kasus-kasus. Kalau tidak bersih dan tetap "bermain" bagaimana bisa dipercaya. Kalau orang sudah percaya sama kita, maka banyak kasus yang masuk.

Akan tetapi, bukan karena basic saya di korupsi sehingga korupsi digenjot. Kasus lainnya juga dikerjakan. Dan, untuk itu harus tertib administrasi, salah satunya dengan membuat sistem pelaporan perkara berbasis IT yang terintegrasi dari polsek hingga ke polda. Untuk apa? Agar kita tahu setiap ada perkara yang masuk.

Jadi, alangkah bodohnya seorang kapolda jika tidak mengetahui jumlah perkara di jajarannya. Kalau jumlahnya saja tidak tahu, bagaimana tahu isi perkaranya. Dalam sistem pelaporan perkara tersebut, nantinya ada klasifikasi perkara. Perkara mana yang porsinya polda, polwil, polres, dan polsek. Untuk polda, misalnya kasus teror dan korupsi. Soal lapor boleh di mana saja.

Kita juga harus mempertanggungjawabkan hal itu ke pelapor dengan mengirim surat kepada pelapor bahwa kasusnya ditangani oleh penyidik ini, ini, dan ini. Kemajuannya dilaporkan secara berkala. Ini akan menjadi standar penilaian untuk penyidik. Dan kapolda mengetahui semua ini karena sistemnya ada sehingga tidak pabaliut. Saya paling tidak suka yang pabaliut-pabaliut. Mungkin, bagi sebagian orang, pabaliut itu enak karena sesuatu yang tidak tertib administrasi itu paling enak untuk diselewengkan. Benar tidak?

Langkah Anda memberantas pungli dan korupsi di tubuh Polda Jabar kemungkinan akan memberi efek pada pengungkapan kasus dengan alasan anggaran yang minim. Menurut Anda?

Kalau kita pandang minim, pasti minim terus. Kapan cukupnya. Kalau anggaran sudah habis, jangan dipaksakan memeras orang untuk menyidik. Mencari klien yang kehilangan barang di sini, memeras di tempat lain. Siapa yang suruh? Bilang saja sama rakyat, anggaran kita sudah habis untuk menyidik. Kita tidak perlu sok pahlawan.

Perilaku memeras atau menerima setoran itu zaman jahiliah. Tidak perlu ada lagi anggota setor ke kasat lantas atau kasat serse, lalu kasat serse setor ke kapolres, dan kapolres setor ke kapolwil untuk melayani kapolda. Jangan pernah setori saya. Lingkaran setan itu saya putus agar tidak ada lagi sistem setoran.

Bukan zamannya lagi seorang kapolsek, kapolres atau kapolwil bangga karena mampu membangun kantornya dengan megah. Dari mana duitnya kalau bukan dari setoran orang-orang yang takut ditangkap, seperti pengusaha judi, dan penyelundupan. Tidak mungkin dari gaji, wong gajinya hanya Rp 5-6 juta.

Menurut saya, anggota yang melakukan itu hanya satu alasannya, ingin kaya. Kalau ingin kaya, jangan jadi polisi, tetapi jadilah pengusaha.

Sikap Anda tersebut kemungkinan memunculkan pro dan kontra di lingkungan kepolisian?

Lho, kenapa harus jadi pro dan kontra. Peraturannya sudah jelas mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Korupsi jelas-jelas dilarang dan ancamannya bisa dipecat. Jadi, tidak perlu diperdebatkan. Titik.

Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng, tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing (pengawalan), sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.

Polisi yang korup sama saja dengan melacurkan diri. Jadi, kalau saya korup dengan menerima setoran-setoran tidak jelas, apa bedanya saya dengan pelacur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke