Langsung ke konten utama

Brain Drain Praktisi TI

Di beberapa milist TI, Pak Mitro, senior praktisi TI Indonesia sedang mengulas tentang brain drain. Terhadap hal ini, saya sebagai pengguna SDM TI di Indonesia menjadi teringat dan punya pengalaman tersendiri tentang brain drain ini. Saya juga pernah juga diskusi dengan salah vendor dan konsultan kantor saya.

Hal yang saya rasakan, sekarang ini kalau kita ingin mendapat provider TI yang bagus harus mengambil tenaga dari luar negeri. Bisa jadi, tenaga luar negeri tersebut justru adalah orang Indonesia juga.

Kalau kita mengambil tenaga dari dalam negeri, tenaga TI yang tersedia di pasar adalah yang fresh graduate, tidak berpengalaman. Karena itu, kita harus siap-siap saja jika kita sport jantung agar proyek kita tidak fail.

Sekarang ini, tenaga TI Indonesia yang mempunyai pengalaman 2-3 tahun saja sudah siap-siap melamar kerja ke negara lain. Paling sial, mereka melamar kerja ke Singapura.

Entah mau seperti apa nanti proyek-proyek TI yang ada di Indonesia jika banyak mereka yang berpengalaman justru bekerja ke luar negeri. Mungkin, efeknya pada aspek cost proyek TI di Indonesia. Cost-nya akan menjadi sangat mahal sekali. Sebab, dari pengamatan saya, ketika kita meng-hire orang dari luar negeri yang juga berkebangsaan Indonesia tentu harus juga merekrut manajer mereka. Manajer mereka ini kebanyakan orang asing/bule yang cost-nya mahal. Walaupun, keunggulan mereka, manajer yang orang asing itu, sebenarnya hanya di manajemen proyek saja.

Semoga banyak orang yang mau merenung seperti Pak Mitro. Kalau tidak, kelemahan pada supply TI kita di Indonesia akan bertambah hancur. Produknya akan semakin tidak terkendali dan tidak bermutu karena tidak di-handle oleh orang yang berpengalaman. Proyek TI di Indonesia hanya menjadi bahan eksperimen para praktisi TI sebelum mereka bekerja di luar negeri. Mengerikan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke