Langsung ke konten utama

PERMASALAHAN PENGADAAN INFRASTRUKTUR TI INSTANSI PEMERINTAH: PENGALAMAN PENDAMPINGAN OLEH BPKP

Latar Belakang[1]

Belakangan ini kita menghadapi banyak permasalahan pengadaan barang/jasa instansi pemerintah. Permasalahan ini tidak terlepas dengan gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan di Indonesia. Beberapa pejabat/pegawai pemerintah pun mulai enggan untuk terlibat dalam urusan pengadaan. Selain itu, telah terjadi perubahan yang signifikan pada manajemen pengadaan barang/jasa pemerintah dengan regulasi yang ada. Misalnya, kini tidak dikenal lagi istilah Pemimpin Proyek. Kita kini hanya mengenal istilah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). 

Kemudian, kini suatu kegiatan pengadaan di instansi pemerintah biasanya hanya dikelola oleh pejabat/pegawai satuan kerja yang berada pada satuan kerja tersebut. Di masa lalu, pengadaan biasanya dikelola oleh seorang pemimpin proyek yang mengelola kegiatan pengadaan yang lintas satuan kerja. Selain itu--yang kurang disosialisasikan dan dipahami dengan baik--setelah munculnya regulasi baru, sebenarnya kegiatan pengadaan sudah dapat dimulai satu tahun sebelum pelaksanaan pengadaan/kontrak. 

Di sisi lain, pada APBN tahun 2008 (ketika artikel ini ditulis), akan terjadi kenaikan signifikan untuk belanja investasi/modal (48,6%), termasuk untuk pengadaan infrastruktur (termasuk belanja infrastruktur teknologi informasi). Dalam perkiraan penulis, belanja infrastruktur teknologi informasi (TI) tahun 2008 akan mengalami kenaikan 100 – 200%. Tentu saja kenaikan ini adalah kenaikan yang sangat signifikan. Padahal, dengan anggaran yang ada pada tahun 2007 saja sudah banyak permasalahan yang ditemui pada pengadaan infrastruktur TI instansi publik. Jika permasalahan ini tidak ditangani segera, maka ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam belanja infrastruktur TI instansi pemerintah akan makin tidak terkendali. 

Studi Kasus 

Sebelum membahas lebih lanjut permasalahan pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah, penulis akan menguraikan sebuah gambaran permasalahan pengadaan insfrastruktur TI yang pernah didampingi oleh BPKP. Di sini, penulis akan menguraikan pengalaman pendampingan di sebuah instansi. Namun, analisis permasalahan yang akan diuraikan berikutnya sebenarnya bukan hanya berdasarkan pengalaman pendampingan pada satu instansi ini saja, tetapi juga ke beberapa instansi lain yang pernah penulis dampingi. 

Instansi yang menjadi gambaran awal ini sebenarnya akan mengadakan 2 kegiatan pengadaan, yaitu pengadaan jasa konsultansi pembuatan sistem aplikasi dan pengadaan perangkat TI. Total anggaran yang tersedia sekitar Rp3 miliar. Sistem aplikasi yang diadakan adalah untuk mendukung sistem informasi dalam rangka mengkoordinasikan, memonitor, dan mengevaluasi kemajuan pemberantasan korupsi di tanah air. 

Ketika kami mulai melakukan kegiatan pendampingan, terdapat beberapa permasalahan awal. Pada instansi ini sebenarnya telah tersedia anggaran pengadaan infrastruktur TI, tetapi tidak jelas apa saja yang harus diadakan. 

Permasalahan berikutnya ternyata belum ada dokumen arah pengembangan TI di instansi ini. Yang tersedia barulah TOR untuk mengajukan anggaran. Memang, telah terdapat tim teknis yang terdiri dari dosen perguruan tinggi negeri, pegawai swasta, dan instansi pemerintah yang akan mendampingi kegiatan pengadaan. Namun, tim teknis yang ada ternyata belum menyusun Kerangka Acuan Kegiatan (KAK) ataupun Kerangka Acuan Teknis (KAT) untuk pengadaan ini. 

Masing-masing anggota tim teknis tampaknya dalam posisi menunggu. Pengguna barang/jasa pun dalam posisi tertekan karena sudah menyampaikan janji kinerja ke menterinya mengenai beberapa harapan yang akan dicapai dari pengadaan ini. Misalnya, menteri telah dijanjikan bahwa dalam pengadaan ini nantinya akan tersedia ruang untuk video conference, ruang operation control, dan sebagainya. 

Dalam pengamatan kami, ternyata juga masih tidak jelas keterkaitan antara sistem dan infrastruktur yang akan diadakan dengan existing system. Hal itu terjadi karena belum jelasnya penanggung-jawab formal pengelolaan TI di instansi ini. Waktu pengadaan pun tinggal sedikit lagi. Padahal, kegiatan pengadaan baru dimulai pada Juli tahun tersebut. 

Anehnya, masih tidak jelas siapa yang akan menjadi PPK pada kegiatan pengadaan ini. Panitia pengadaan pun ternyata tidak pernah dilibatkan dalam rapat-rapat tim teknis sebelumnya. Para pengguna (user) kegiatan pengadaan ini sebenarnya berlatar belakang teknis (engineer). Namun, mereka tidak memahami (atau memang tidak mau memahami aspek teknis pengadaan TI!). Itulah sebabnya, seorang pejabat pada instansi tersebut—yang kebetulan berasal dari BPKP—menghubungi ke seorang temannya di BPKP. 

Anehnya pula, pejabat instansi ini meminta bantuan untuk mencari orang BPKP yang mengerti audit sistem informasi. Padahal, sebenarnya adalah berbeda antara peran auditor sistem informasi dengan peran pengembang (developer). Auditor tentunya tidak akan dapat berperan dengan baik selaku pengembang. Sebab, ibarat sebuah mobil, posisi auditor sebenarnya adalah sebagai rem, sedangkan pengembang adalah sebagai gas. 

Setelah kami terlibat dalam kegiatan pendampingan, kemudian kami mulai membantu menyusun draft KAK untuk rekruitmen konsultan sistem aplikasi dan draft KAK untuk pengadaan perangkat TI serta membahasnya dengan tim teknis yang sudah diangkat sebelumnya beserta pengguna dan Panitia pengadaan. 

Beberapa hal penting yang kami muat dalam KAK adalah adanya persyaratan bahwa setelah direkrut konsultan dipersyaratkan untuk mereview KAK pengadaan perangkat TI. Kemudian, baru dilakukan proses pengadaan perangkat TI. Tim Teknis mengawasi konsultan, konsultan mengawasi kontraktor. Konsultan dan kontraktor diwajibkan mengintegrasikan sistem baru dengan existing system. Gambaran mengenai arah pengembangan TI di instansi ini juga kami masukkan ke dalam draft KAK dengan maksud agar konsultan dan kontraktor terpilih memahami arah kegiatan pengadaan ini. 

Setelah itu, kami melakukan pendampingan lelang ke Panitia pengadaan dan melakukan monitoring--hari per hari--terhadap pekerjaan konsultan dan kontraktor. Akhirnya, pekerjaan pengadaan selesai dengan beberapa keterbatasan yang sebenarnya uncontrollable, seperti kenyataan di lapangan bahwa ternyata para pengguna terlalu mengandalkan Tim Teknis. Para pengguna ternyata tidak terlalu concern dengan pekerjaan konsultan dan kontraktor, tetapi malah sibuk melakukan perjalanan dinas ke luar kota. 

Akibatnya, pengendalian dari pengguna terhadap konsultan dan kontraktor sangat rendah dan transfer pengetahuan (transfer of knowledge) ke pengguna pun terhambat. Kontraktor pun terlambat menyerahkan beberapa item pekerjaan yang sebenarnya berasal dari kelambatan approval pengguna untuk kegiatan tertentu. Akhirnya, keterlambatan ini menjadi temuan BPK dan kontraktor dikenakan denda dari nilai kontrak. 

Belakangan pun baru diketahui bahwa konsultan bersama sub-konsultannya (principal perangkat lunaknya) ternyata baru bekerja sama pertama kali pada proyek ini. Mereka pun akhirnya “bersengketa” tentang lingkup pekerjaan. Sejumlah pembayaran ke sub-konsultan pun tidak diselesaikan oleh konsultan utama. Walaupun satu alumni, kedua perusahaan yang berafiliasi ini pun akhirnya “pecah kongsi”. 

Pembelajaran yang Diperoleh 

Berdasarkan pengalaman pendampingan pada instansi ini, ada beberapa pembelajaran yang sebenarnya dapat diambil hikmahnya. Salah satunya adalah bahwa pengadaan sistem aplikasi sebaiknya dikerjakan oleh kontraktor. Pengadaan sistem aplikasi mestinya dilaksanakan sebagai pengadaan barang, pengadaan jasa pemborongan, atau pengadaan jasa lainnya, dan bukan jasa konsultansi. 

Selama ini, ada kesalahpamahaman pengadaan insfrastruktur TI, di mana pengadaan sistem aplikasi diperlakukan sebagai pengadaan jasa konsultansi. Padahal, jika kita mengacu kepada pengadaan dalam rangka konstruksi bangunan, sebenarnya ada 3 tahap pengadaan yang dilalui, yaitu pengadaan jasa konsultan perencana, pengadaan kontraktor, dan pengadaan konsultan pengawas. 

Untuk pengadaan konstruksi bangunan yang kompleks, biasanya pertama sekali harus diadakan konsultan manajemen konstruksi (MK). Manajemen konstruksi inilah yang akan membantu PPK dalam mengelola kegiatan pengadaan konstruksi bangunan sejak perencanaan, konstruksi, sampai dengan pengawasan selama konstruksi. 

Mestinya, pengadaan sistem aplikasi juga mengacu ke pengadaan konstruksi bangunan. Sebelum sistem aplikasi dikonstruksikan (di-coding), mestinya terlebih dahulu telah tersedia rancangan sistem aplikasi yang akan dibangun. Rancangan sistem aplikasi harus terlebih dahulu dikerjakan oleh konsultan perencana (pengadaan jasa konsultan) atau dilaksanakan oleh tim internal (swakelola). 

Dalam praktiknya, penulis jarang menemui pelaksanaan pengadaan sistem aplikasi yang seperti ini. Pengadaan sistem aplikasi di Indonesia biasanya disatukan antara penyusunan rancangan dengan konstruksinya dan dikerjakan oleh konsultan yang sama. Hal inilah salah satu penyebab sering gagalnya implementasi sistem aplikasi di Indonesia. Sebab, penyedia (konsultan) akan cenderung mengerjakan apa yang mampu mereka kerjakan, bukan apa yang seharusnya dikerjakan berdasarkan kebutuhan nyata pengguna sistem. 

Hikmah lain dari pengalaman pendampingan pada instansi ini adalah perlu adanya regulasi yang mewajibkan setiap pengadaan instrastruktur TI harus terintegrasi dengan existing system di sebuah instansi. Selama ini, pengadaan infrastruktur TI di instansi pemerintah jarang memperhatikan existing system. Sering pengadaan yang dilakukan berakibat duplikasi atas existing system. Bahkan, dapat terjadi existing system belum digunakan, ternyata sudah diadakan lagi sistem baru. Akibatnya, tingkat ketidakefisienan pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah sangat tinggi. 

Menurut penulis, hal ini juga disebabkan oleh kelemahan kompetensi penyedia infrastruktur TI di Indonesia. Dalam pengamatan penulis, penyedia infrastruktur TI di Indonesia kebanyakan hanya mampu menyediakan infrastruktur TI baru. Dalam bahasa sederhana, mereka hanya mampu membangun hal yang baru. Ketika diwajibkan untuk mengintegrasikan dengan sistem yang sudah ada atau membangun di atas layer infrastruktur yang sudah ada biasanya mereka kurang mampu. Hanya beberapa penyedia di Indonesia yang memiliki kemampuan ini. 

Hikmah lainnya, perlu adanya regulasi manajemen proyek TI yang mengatur kewajiban partisipasi pengguna, terutama sekali setelah kontrak ditandatangani. Sebab, regulasi Keppres 80 tahun 2003 kebanyakan hanya mengatur proses pengadaan sampai dengan kontrak ditandatangani. Akibatnya, pengawasan terhadap pengadaan infrastruktur TI masih lemah. Keberhasilan dalam proses seleksi penyedia ternyata sering tidak diiringi oleh keberhasilan dalam pengawasan ketika kegiatan implementasi infrastruktur TI sedang dilaksanakan. 

Titik-Titik Kritis Pengadaan Infrastruktur TI Instansi Pemerintah 

Untuk menganalisis permasalahan pengadaan infrastruktur TI di instansi pemerintah, penulis akan menggunakan framework pengadaan infrastruktur TI menurut Custer Consultants (2003). Menurut Custer Consultants, metodologi pengadaan infrastruktur TI idealnya terdiri dari proses penyusunan anggaran, pembentukan tim, pembuatan requirements, perencanaan pengadaan, penerbitan request for information (RFI) dan request for qualification (RFQ), penentuan lingkup pengadaan, penulisan request for proposal (RFP), penerbitan RFP dan pengendalian pengadaan, evaluasi penawaran, pengajuan dan persetujuan pemenang, pembahasan kontrak, penyerahan barang/jasa, uji-terima, serta operasi dan dukungan teknis. Proses ini secara jelas tampak dalam gambar berikut.

Sumber: Custer Consultants, Inc. (2003), dengan modifikasi[2]

Beberapa analisis penulis tentang permasalahan pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah berdasarkan framework tersebut diuraikan berikut ini. 

Penyusunan Anggaran Menurut pengalaman pendampingan oleh penulis, Term of Reference (TOR) untuk memperoleh anggaran pengadaan infrastruktur TI tahun berikutnya di sebuah instansi pemerintah biasanya hanya memperhatikan kebutuhan satu tahun ke depan (jangka pendek). Jarang sekali instansi pemerintah yang memperhatikan dan mengantisipasi pengadaan infrastruktur TI dalam jangka menengah/panjang. Hal ini umumnya disebabkan karena tidak adanya Blue Print TI di sebuah instansi pemerintah. 

TOR pengadaan infrastruktur TI sebuah instansi pemerintah pun sering kurang dibahas secara mendalam oleh instansi perencanaan (Bappenas atau Bappeda) dalam proses evaluasi perencanaan. Akibatnya, interaksi sebuah pengadaan infrastruktur TI di satuan kerja dengan inisiatif/proyek TI di satuan kerja lain yang masih dalam satu instansi pemerintah kurang diperhatikan. Apalagi jika memperhatikan keterkaitan antara suatu inisiatif di suatu instansi pemerintah dengan instansi lainnya. Hal inilah yang mengakibatkan tidak adanya sinkronikasi pengembangan TI instansi pemerintah secara nasional. 

Memang, dapat saja instansi perencanaan berargumentasi bahwa dalam aspek substantif pengadaan infrastruktur TI mestinya yang berperan adalah kementerian yang bertanggung-jawab di bidang teknologi informasi (Depkominfo). Namun, tampaknya instansi ini belum memberikan peran yang berarti dalam mensinkronkan perencanaan pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah secara nasional. Mungkin karena posisi organisasi ini yang belum berhasil mentransformasikan dirinya dari instansi yang bertanggung-jawab dalam aspek public relations ke aspek teknologi informasi atau belum dipahami pentingnya peranan tersebut dioperasionalkan dengan baik. 

TOR pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah yang diajukan ke instansi perencanaan pun biasanya sangat sederhana. Biasanya TOR ini hanya disampaikan dalam beberapa lembar kertas saja. Bahkan, sering sekali tanpa didukung oleh feasibility study terlebih dahulu. 

TOR pengadaan infrastruktur TI sebuah instansi pemerintah pun sering disusun langsung oleh vendor. Sering sekali inisiatif pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah bukan berasal dari inisiatif pegawai internal instansi tersebut, tetapi justru di-drive oleh vendor. Apa yang diusulkan oleh vendor pun sering bukan benar-benar yang dibutuhkan oleh instansi pemerintah, tetapi hanyalah karena munculnya suatu teknologi baru, yang bisa jadi teknologi yang sudah diimplementasikan sebelumnya justru belum dimanfaatkan atau masih layak untuk digunakan. 

Dalam praktiknya, sering kali TOR pengadaan infrastruktur TI dari sebuah instansi pemerintah diajukan penganggarannya oleh satuan kerja yang sebenarnya tidak bertanggung-jawab langsung dalam pengelolaan TI sebuah instansi pemerintah. Satuan kerja instansi pemerintah sering mengajukan rencana pengadaan TI ke instansi perencanaan tanpa melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan satuan kerja yang bertanggung-jawab di bidang pengelolaan TI sebuah instansi pemerintah. Memang, dalam hal tertentu, hal ini dapat terjadi karena pengelola TI di sebuah instansi pemerintah sering belum diatur secara jelas dalam struktur organisasi sebuah instansi pemerintah. 

Pembentukan Tim Dalam pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah, sering struktur tim yang telah dibentuk masih terbatas pada tim pengadaan dan tim penerima barang/jasa. Jarang sekali instansi pemerintah yang telah membentuk tim dan mengatur sampai ke struktur dan pengorganisasian pengguna. 

PPK pun sering tidak didukung oleh struktur tim yang komprehensif. Mestinya, dalam pengadaan infrastruktur TI dibentuk tim yang terdiri dari tim pengguna, tim pengembang, tim pengadaan, tim penerima, tim teknis, dan seterusnya, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kompleksitas infrastruktur yang diadakan. Jika pun telah dibentuk, sering sekali di instansi pemerintah tidak terdapat orang yang memahami kondisi existing system di tim tersebut. 

Tim yang dibentuk pun sering tidak didukung oleh anggaran yang cukup. Sering sekali dalam praktiknya diasumsikan bahwa pembiayaan untuk tim internal sebuah instansi pemerintah akan dibebankan pada anggaran yang dibayarkan dalam kontrak ke kontraktor/konsultan. Kondisi ini dapat mengakibatkan tim yang dibentuk tidak dapat bekerja dengan baik sebagai pengendali pelaksanaan implementasi pengadaan karena munculnya conflict of interest. Kontraktor/konsultan pun akan merasa sangat diuntungkan dengan kondisi ini. Sebab, pembayaran ke mereka juga akan terkait langsung dengan pembayaran ke pegawai internal sebuah instansi. 

Pembuatan Requirements Dalam praktiknya, instansi pemerintah biasanya masih tidak mampu untuk menyusun requirements document pengadaan infrastruktur TI. Yang baru dapat disediakan oleh mereka adalah Term of Reference (TOR) untuk pengajuan penganggaran. Sering kali TOR ini dipakai langsung sebagai requirements document untuk pelelangan pengadaan infrastruktur TI. Padahal, requirements document untuk keperluan pelelangan akan sangat berbeda dengan TOR untuk keperluan penganggaran. 

Dalam pengamatan penulis, kalau pun ada, belum banyak instansi pemerintah yang menyusun sendiri requirements document oleh pihak internal instansi pemeirntah (swakelola). Biasanya, requirements document ini dikerjakan oleh pihak ketiga, yaitu konsultan perencana. Itu pun terbatas dilakukan oleh instansi BUMN atau instansi pemerintah yang sudah melakukan modernisasi pelayanan. 

Masalahnya, requirements document yang dibuat oleh konsultan perencana pengadaan infrastruktur TI sering tidak sinkron dengan apa yang dibutuhkan oleh pengguna. Biasanya pun pejabat pengguna sebuah instansi pemerintah sering berganti dalam jangka pendek dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Akibatnya, sering tidak ada komunikasi lagi antara konsultan perencana yang sebelumnya menyusun requirements document dengan pejabat pengguna berikutnya. Pejabat pengguna berikutnya pun sering harus berimprovisasi dengan dokumen yang ada. 

Sayangnya, sering sekali requirements document yang telah disusun masih memuat apa yang “diinginkan”, bukan apa yang harus “dilakukan/dipersyaratkan” harus di-supply oleh kontraktor/konsultan. Yang terberat dalam penyusunan requirements document sebenarnya adalah apa yang benar-benar perlu dipersyaratkan (baik aspek fungsional maupun teknis) karena persyaratan inilah yang menjadi indikator penting dalam penilaian teknis dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan. 

Perencanaan Pengadaan Perencanaan pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah biasanya masih terbatas pada penyusunan skedul. Dalam perencanan pengadaan, belum direncanakan betul siapa melakukan apa untuk setiap skedul. Sering sekali perencanaan pengadaan ini hanya dilakukan oleh ketua/sekretaris, tanpa melibatkan anggota pengadaan lainnya. Anehnya, sering ditemui pengadaan sudah direncanakan, tetapi KAK/KAT pun belum disusun. Hal ini dapat mengakibatkan pengadaan menjadi terburu-buru dan tidak diperoleh infrastruktur TI yang berkualitas. 

Penerbitan RFI/RFQ Dalam pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah, proses penerbitan RFI jarang dilalui. Padahal, dalam pengadaan infrastruktur TI sangat diperlukan RFI, terutama sekali untuk mengetahui apakah suatu produk yang akan diadakan masih diproduksi oleh prinsipal/pabrikan. 

Menurut informasi dari sebuah instansi pemerintah, RFI biasanya jarang dilalui untuk menjaga kesan bahwa principal/vendor memiliki harapan untuk nantinya terpilih dan meminimalkan peluang kolusi. Sebenarnya, proses penerbitan RFI dapat dilakukan melalui surat formal dan presentasi langsung ke pihak internal instansi secara terbuka serta diberikan kesempatan tidak hanya ke satu principal/vendor. Dengan demikian, penyadaran ke pihak principal/vendor bahwa proses penerbitan RFI tidak mengakibatkan adanya perikatan dapat dilakukan dan meminimalkan peluang kolusi. 

Di sisi lain, penerbitan RFQ di Indonesia hanya dilakukan untuk pengadaan infrastruktur TI yang melalui prakualifikasi. Terutama sekali jika pengadaan infrastruktur TI tersebut dipandang cukup kompleks. Padahal, setiap pengadaan infrastruktur TI mestinya melalui RFQ. Walaupun hanya sekedar pengadaan perangkat komputer PC misalnya, pasti ada kegiatan konfigurasi (setup) yang harus dilakukan oleh penyedia. Selain itu, prakualifikasi dimaksudkan agar proses evaluasi teknis tidak terlalu banyak memakan waktu. Menurut pengalaman penulis, proses penilaian atas penawaran teknis infrastruktur TI yang melebihi dari 5 berkas penawaran biasanya sangat melelahkan dan akan mengakibatkan proses penilaian tidak fokus dan malah salah dalam memilih yang lolos seleksi. 

Penentuan Lingkup Pengadaan Dalam pengadaan infrastruktur TI, lingkup pengadaan yang didefinisikan instansi pemerintah biasanya hanya terbatas pada pengadaan sistem atau perangkat yang akan diadakan. Jarang sekali instansi pemerintah yang telah memasukkan lingkup pengadaan infrastruktur TI termasuk menguraikan unit/satuan kerja mana saja yang akan diimplementasikan, fitur-fitur yang harus di-supply, time frame dan tahapan-tahapan, serta waktu tenaga ahli yang diperlukan. 

Penulisan RFP Umumnya untuk pengadaan infrastruktur TI, instansi pemerintah hanya menyampaikan daftar jumlah perangkat dan spesifikasinya, tanpa menguraikan apa yang harus di-install, di-setup, atau dikonfigurasi oleh kontraktor pada waktu perangkat di-supply. Dengan kondisi ini, pada waktu implementasi, kontraktor akan menginstalasi, men-setup, atau mengkonfigurasi apa yang mampu dilakukan oleh tenaga ahli kontraktor, bukan apa yang sebenarnya dibutuhkan atau dipersyaratkan untuk dikerjakan. 

Dalam praktiknya pun, seperti diuraikan sebelumnya, RFP tidak begitu dikenal di lingkungan instansi pemerintah (masih terbatas TOR). Biasanya RFP hanya tersedia pada pengadaan infrastruktur TI yang sumber dananya berasal dari loan/grant donor. RFP ini pun biasanya dibuatkan oleh konsultan technical assistance (TA). 

Selain itu, jarang sekali dalam RFP (KAK) pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah telah memuat existing environment and constraints, business requirements and systems features, serta technical requirements and specifications. 

Penerbitan RFP dan Pengendalian Pengadaan RKS beserta KAK/KAT pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah sering disampaikan terlambat ke peserta pengadaan. Bahkan, pada beberapa instansi pemerintah masih ada yang disampaikan pada saat pertengahan aanwijing.

Akibatnya, peserta tidak membaca terlebih dahulu apa yang akan diadakan. Kegiatan aanwijing pun akhirnya hanya berisi pembacaan dokumen KAK, bukan penjelasan dengan diskusi dan tanya-jawab yang berbobot. Aanwijing sering hanya berisi perdebatan tentang aspek administratif. Permasalahan akibat hal ini biasanya muncul setelah peserta akan mengajukan penawaran. 

Biasanya, peserta pengadaan menghubungi langsung panitia pengadaan melalui telepon atau datang langsung yang memunculkan peluang kolusi. Pada waktu pembukaan penawaran pun sering timbul perdebatan karena pada saat aanwijing banyak hal yang tidak dibahas sebelumnya. 

Sering kali RFP (KAK) justru sudah “bocor” ke peserta pengadaan (bidder) sebelum diumumkan secara resmi. Permasalahan lainnya, masih terdapat RFP yang disebarkan dalam waktu pendek sehingga tidak sempat bagi bidder yang baru mengetahui adanya suatu kegiatan dapat menyiapkan penawaran teknis yang komprehensif. Karena waktu yang terbatas, peserta pengadaan akhirnya hanya menyampaikan dokumen penawaran yang kualitasnya rendah.

Dalam pengadaan infrastruktur TI, HPS detail pun sering sekali disampaikan secara informal ke bidder tertentu sehingga harga penawaran yang diperoleh tidak kompetitif. 

Evaluasi Penawaran Dalam evaluasi pengadaan infrasktruktur TI, sering sekali rancu antara evaluasi administrasi dan evaluasi teknis. Sering kali hasil evaluasi administrasi diberi bobot penilaian teknis, yang semestinya penilaiannya hanya pada aspek memenuhi atau tidak memenuhi syarat administrasi (sistem gugur). Evaluasi teknis pun sering dilakukan oleh Panitia pengadaan tanpa melibatkan tim teknis yang kompeten. 

Kriteria evaluasi teknis pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah pun biasanya dibuat rumit. Jarang sekali yang membuat kriteria evaluasi teknis secara sederhana. Mestinya, kriteria evaluasi teknis cukup dibatasi pada aspek kesesuaian penawaran dengan requirements; apek dukungan teknis, pemeliharaan, dan pelatihan; aspek perencanaan implementasi; dan fleksibilitas pengembangan sistem di masa datang. 

Pengajuan dan Persetujuan Pemenang Dalam praktiknya, sering panitia pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah sudah mengusulkan pemenang tanpa menyebutkan urutan pemenangnya. Akibatnya, pemenang yang ditunjuk oleh PPK hanya berdasarkan pemenang yang diusulkan panitia pengadaan, tanpa menelaah kembali atau melakukan koreksi terhadap usulan sehingga memungkinkan terpilih urutan berikutnya. 

Hal itu biasanya untuk menghindari sanggahan atau perdebatan internal. Kalau pun terjadi perbedaan pandangan antara PPK dan panitia pengadaan, biasanya berkas evaluasinya yang diubah dan bukan dibuat dokumentasi yang lengkap tentang perbedaan pandangan tersebut. 

Dalam pemilihan pemenang, biasanya peserta yang terpilih akan melakukan sanggahan. Namun, sanggahan sering diajukan ke panitia pengadaan. Padahal, sanggahan mestinya disampaikan ke PPK. Sanggahan pun menyangkut hal-hal yang sebenarnya di luar ketentuan regulasi. Biasanya nilai teknis yang disanggah hanyalah yang menyangkut penyanggah saja. Jarang peserta yang menyanggah aspek pelanggaran prosedur dan yang menyangkut keseluruhan peserta.

Pembahasan Kontrak Jarang sekali dilakukan pembahasan terlebih dahulu kontrak pengadaan infrastruktur TI antara PPK dan penyedia. Biasanya kontrak hanya diselesaikan oleh panitia pengadaan dan PPK tinggal menandatanganinya. PPK pun saat ini sering tidak mempunyai tim yang ditugaskan khusus untuk mengurusi kontrak. 

Kontrak yang ada pun sering tidak pernah di-update dan menggunakan template lama, tanpa modifikasi yang mendasar. Padahal, sering sekali persyaratan kontrak berbeda antara satu pengadaan dengan pengadaan lainnya. Misalnya, antara pengadaan konsultan akan berbeda persyaratan kontraknya dengan pengadaan kontraktor. Pembuatan kontrak yang pengadaannya kompleks pun jarang sekali melibatkan ahli hukum dari internal ataupun lawyer profesional. Karena cacatnya sebuah kontrak, akibatnya sering PPK tidak bisa meng-enforce suatu hal yang sebenarnya harus di-supply oleh penyedia infrastruktur TI. 

Penyerahan Barang/Jasa Sering dalam pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah barang/jasa yang dikirim ternyata belum dilengkapi surat pengantar/DO. Laporan-laporan dan dokumentasi yang sebenarnya dipersyaratkan dalam kontrak pun sering dianggap bukan keluaran dan tidak diserahkan ke PPK. 

Source code pengadaan sistem aplikasi juga sering tidak diserahkan ke PPK. Hal ini adalah salah satu penyebab timbulnya permasalahan pada waktu sistem aplikasi tersebut akan dimodifikasi lagi di kemudian hari. Begitu juga dengan as built-drawing atau konfigurasi sistem. Dokumentasi ini sering tidak dicek kembali oleh pengguna kesesuaiannya dengan kondisi di lapangan. Akibatnya, sering dokumentasi infrastruktur TI yang diadakan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. 

Uji-Terima Dalam uji-terima pengadaan infrastruktur TI, oleh PPK tanggung-jawab serah-terima sering dibebankan ke tim penerima barang/jasa. Namun, tidak ada anggotanya yang kompeten untuk melakukan uji-terima. Dalam Keppres 80/2003, memang tidak jelas peran tim penerima ini. Peran mereka sering hanya untuk memenuhi formalitas persyaratan pembayaran karena pada akhirnya yang paling bertanggung-jawab adalah PPK. 

Uji-terima pun sering dilakukan langsung di sisi pengguna, tanpa dilalui terlebih dahulu di sisi internal kontraktor. Akibatnya, produk yang diujiterimakan sering masih bermasalah. Di sisi lain, dalam pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah jarang ditunjuk konsultan pengawas yang ditugaskan khusus untuk mengawasi pekerjaan konsultan/kontraktor. 

Operasi dan Dukungan Teknis Dalam aspek operasi dan dukungan teknis, sering kali sistem/perangkat TI instansi pemerintah sudah dioperasikan tanpa melalui uji-terima. Pengorganisasian pada saat dimulainya pengoperasian pun sering tidak jelas dan tidak didukung dengan anggaran yang memadai. Dalam praktiknya, penyedia sistem aplikasi pun sering harus membiayai kegiatan pengoperasian pada tahap awal (baik pembiayaan SDM, ATK, dan sejenisnya). Padahal, hal ini mestinya diantisipasi oleh instansi pemerintah sejak penganggarannya. 

Kontrak pengadaan infrastruktur instansi pemerintah pun sering lupa mempersyaratkan dukungan teknis dan pemeliharaan oleh penyedia (baik jasa maupun spare-part). Jangka waktu dukungan teknis dan pemeliharaan pun terlalu pendek (biasanya hanya 1 tahun). Mestinya, lamanya dukungan teknis dan pemeliharaan infrasktruktur TI adalah sampai estimasi operasi dan tranfer of knowledge telah berjalan dengan baik (maturity product). Biasanya untuk infrastruktur TI membutuhkan waktu minimal 3 tahun. 

Penutup 

Demikian beberapa permasalahan pengadaan infrastruktur IT instansi pemerintah. Dengan analisis permasalahan ini, diharapkan adanya kajian di masa datang yang dapat mengatasi permasalahan tersebut sehingga efesiensi dan efektivitas dalam pengadaan infrastruktur TI instansi pemerintah dapat dicapai. 

Daftar Pustaka 

Asian Development Bank, “Guidelines on the Use of Consultants by ADB and Its Borrowers”, February 2007 Asian Development Bank, “Procurement Guidelines”, February 2007 http://www.storesonline.com/site/custerconsultants/

Rahardjo, Agus, “Reform Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”, makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di BPKP, 1 November 2007 

Republik Indonesia, “Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia”, 16 Agustus 2007 Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2008 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 

Catatan:

Ketika artikel ini ditulis, penulis adalah Kepala Sub Bidang Pengembangan Teknologi Informasi, Pusat Informasi Pengawasan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kini penulis adalah Kepala Pusat Informasi Pengawasan BPKP. Selain menduduki jabatan formal tersebut, penulis adalah pengajar pada Universitas Bina Nusantara dan anggota Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII) dan salah satu anggota Kelompok Kerja Evaluasi Teknologi Informasi (Pokja Evatik) pada Dewan Teknologi Informasi Nasional (Detiknas). Penulis memperoleh ijazah Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (1996), Master Manajemen (Sistem Informasi) dari Universitas Bina Nusantara (1999), Master of Commerce (Information System) dari Curtin University of Technology (2000), Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (2018)

 



[1] Tulisan ini pernah disampaikan oleh penulis pada Simposium Ahli Pengadaan Nasional Ke-2, yang diadakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta tanggal 5 Desember 2007. Simposium dihadiri oleh para ahli pengadaan yang telah memperoleh sertifikasi ahli pengadaan yang berasal dari instansi pemerintah di seluruh Indonesia.

[2] http://www.storesonline.com/site/custerconsultants/

Komentar

aph.4nc mengatakan…
Terima kasih Bang. Saya dulu adik kelas persis waktu D4, tempat kost kita juga sama waktu di Galia. Tulisan abang tentang pengadaan TI (terutama di instansi pemerintah) bagus dan tajam sekali. Sekarang saya bertugas sebagai Kepala Seksi Pengujian Kepatuhan Internal di Direktorat KITSDA DJP. Saya bisa minta email address-nya? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan.
Andri PH, CISA
aph.4nc mengatakan…
Terima kasih Bang. Saya dulu adik kelas persis waktu D4, tempat kost kita juga sama waktu di Galia. Tulisan abang tentang pengadaan TI (terutama di instansi pemerintah) bagus dan tajam sekali. Sekarang saya bertugas sebagai Kepala Seksi Pengujian Kepatuhan Internal di Direktorat KITSDA DJP. Saya bisa minta email address-nya? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan.
Andri PH, CISA
Rudy M Harahap mengatakan…
Maaf, saya baru baca comment Pak Adri. Email saya rmharahap@iasii.or.id

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke